Oleh: Achmad Hidayah Syawal*
Tantangan pendidikan di masa depan tampak semakin kompleks. Sistem pendidikan akan menghadapi berbagai tantangan yang menuntut sejumlah pendekatan dalam pengelolaan perguruan tinggi. Persaingan dalam pengetahuan, kian beralih menjadi persaingan kreativitas, imajinasi dan pola pikir. Pada akhirnya, mahasiswa dituntut lebih tanggap dan adaptif menghadapi setiap perubahan serta menjadi lebih mandiri.
Menghadapi situasi seperti ini, lahirlah suatu terobosan baru dan jurus jitu pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang meluncurkan beberapa kebijakan baru pada 24 Januari 2020, diantaranya kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Program kebijakan utama dari MBKM adalah kemudahan pembukaan program penelitian baru, perbaikan skema akreditasi perguruan tinggi, kemudahan PTN resmi menjadi PTN Berbadan Hukum (PTN-BH), dan kebebasan mahasiswa untuk belajar di luar program studi selama tiga semester (magang, praktikum dan semacamnya).
Mahasiswa diberikan kebebasan untuk mengikuti perkuliahan di luar kurikulum, tiga semester berupa kesempatan 1 semester untuk mengikuti perkuliahan di luar kurikulum, dan dua semester untuk melakukan kegiatan studi di luar perguruan tinggi. Meski di tahun 2020 lalu masih sulit untuk diterapkan lantaran berbagai hambatan akibat Covid-19, namun di tahun 2023 ini kita bisa melihat betapa kompak dan gerak cepatnya setiap universitas dalam menerapkan MBKM.
Salah satu kunci keberhasilan dari implementasi Kebijakan MBKM adalah mengupayakan agar proses pembelajaran di Perguruan Tinggi lebih otonom dan fleksibel, sehingga tercipta kultur belajar yang inovatif, tidak mengekang, dan sesuai dengan kebutuhan perguruan tinggi. Dalam hal ini, program studi berupaya mengembangkan kurikulum dengan menyesuaikan perkembangan zaman guna menghasilkan “alumni siap kerja” sesuai dengan capaian pembelajaran yang diharapkan.
Sederhananya, pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda, jika berkaca pada kebijakan diatas, maka hasil yang dimaksud ialah tercipta sebagai alumni yang siap kerja atau para calon tenaga pekerja. Magang maupun kegiatan praktikum lainnya dalam isi program MBKM ini adalah salah satu praktek membiasakan diri untuk terjun di dunia kerja maupun industri.
Jadi, anak didik atau dalam hal ini ialah ‘mahasiswa’, secara sistem dijadikan sebagai objek investasi dan sumber deposito potensial. Sedangkan guru atau dalam hal ini ialah ‘dosen’ sebagai depositor atau investornya. Sementara depositonya ialah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada mahasiswa.
Mengingat pernyataan Freire, bahwa hal ini merupakan bagian dari “pendidikan reproduksi” dan diandaikan sebagai sebuah “bank’ atau dikenal sebagai konsep perbankan pendidikan. Secara nyata, tugas utama dari reproduksi ideologi kelas dominan sedang berjalan, dengan menciptakan pendidikan sistematis yang serupa dengan kebijakan tadi. Reproduksi yang dimaksud ialah reproduksi kondisi semacam sistem pendidikan untuk mempertahankan kekuasaan oligarki.
Dengan hubungan antara pendidikan sistematis sebagai suatu subsistem dengan sistem sosial, sudah menjadi hubungan kontradiksi timbal balik. Mahasiswa lantas dijadikan sebagai Bejana Kosong yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman modal ilmu pengetahuan yang akan dipetik hasilnya kelak.
Tidak menutup kemungkinan, yang terjadi pada mahasiswa bahkan tidak diperuntukkan lagi untuk banyak berbicara tentang teori, tapi langsung kepada pelatihan dalam bentuk kegiatan-kegiatan turun lapang. Yang sangat disayangkan ialah apabila mahasiswa intens melakukan praktek turun lapang sesuai program MBKM, mahasiswa tidak lagi terlibat dalam praktek sosial murni berdasarkan kesadaran intelektual maupun perannya sebagai mahasiswa, namun semata-mata hanya karena tuntutan akademik saja.
Di sisi lain, semakin banyak jumlah mahasiswa yang diikutsertakan dalam magang, dampak positif tidak hanya dirasakan oleh mahasiswa yang tentunya gemar mencari pengalaman sekaligus persiapan diri agar kelak lebih mudah mendapat pekerjaan, melainkan juga dirasakan oleh perusahaan atau industri yang sangat senang menerima kehadiran mahasiswa, yang diberi upah rendah pun tentu tidak akan protes berlebih, toh juga usia nya masih muda, hanya magang dan belum punya tuntutan ekonomi yg besar bahkan masih dibiayai oleh orang tua, kenapa tidak? Memanfaatkan masa muda untuk cari pengalaman sebanyak-banyaknya.
Sukarela? Tentu, mahasiswa yang tidak menyadari dampak kedepannya sungguh ikhlas dan sukarela, bahkan merelakan dengan kehadirannya membuat para pekerja tua dengan upah standart akan terancam di-PHK. Memangnya perusahaan mana yang ingin rugi? Bahkan tidak rugi sekalipun minimal bisa meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dong (bagi mereka yang berkarakter kapitalis).
Bonus demografi, usia produktif menjadi peluang terbesar bagi semua perusahaan. Sedangkan MBKM, menjadi kabar baik menyambut sokongan para calon tenaga kerja ahli nan murah dari berbagai universitas yang menjadi laboratorium dalam mencetak para calon tenaga kerja.
Padahal, pasca pandemi yang secara alamiah berhasil melemahkan jiwa bersosial bahkan mental para generasi muda, sungguh yang menjadi kebutuhan mahasiswa ialah melatih kemampuan problem solving dan skill kepemimpinan, bagaimana ceritanya jika dituntut untuk turun lapang sedangkan ngurus diri sendiri pun masih ruwet.
Cara melatih kemampuan problem solving dan skill kepemimpinan mahasiswa ialah pembiasaan diri untuk berpikir kritis dan berjiwa survive sembari membentuk mental dan karakter, bukankah pembiasaan itu hanya bisa didapatkan di dalam organisasi? Di ruang perkuliahan mana mungkin mampu melatih hal semacam itu? Toh MBKM hanya menyisakan 2 semester kesempatan belajar di dalam prodi/kampus. Sayangnya dengan MBKM justru merenggut banyak waktu kita untuk turun lapang bahkan tidak punya waktu lagi untuk berorganisasi.
Sejatinya, mahasiswa terlibat langsung ke dalam masyarakat minimal dalam keadaan yang sudah siap dan murni berdasar pada kesadaran tiap individu, bukan coba-coba bahkan hanya formalitas belaka. Jika hanya dijadikan ajang coba-coba dan sebatas formalitas untuk memenuhi tuntutan akademik, bukankah jauh lebih mulia yang dilakukan oleh para tukang tambal ban di pinggir jalan? Dengan begitu, stigma bahwa mahasiswa hanyalah perusuh jalanan bahkan “sampah masyarakat” harus tetap siap untuk ditanggung.
Tidak heran jika yang terus terjadi ialah dosen sebagai subjek aktif, sedangkan mahasiswa adalah obyek pasif yang penurut bagaikan domba imut dan lugu. Pendidikan di perguruan tinggi akhirnya bersifat penindasan, dimana dosen memberi segala informasi yang harus ditelan begitu saja oleh para mahasiswa nya.
Freire menyebut pendidikan semacam itu hanya menciptakan “nekrofili” (senantiasa lari dari tanggung jawab dan terkungkung pada masa lalu) bukan melahirkan “biofili” (punya kemauan untuk berkembang, berubah dan orientasi masa depan).
Tiba saatnya mahasiswa akan benar-benar menjadikan diri sebagai duplikasi dosen yang mendidik dan mengarahkan secara tersistem. Pada saat ini juga, akan terus lahir generasi baru manusia-manusia penindas. Dengan demikian, sistem pendidikan akan menjadi sarana terbaik untuk melanggengkan keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah ke arah perubahan dan pembaruan.
Sebagai salah satu dari penikmatnya, secuil mahasiswa yang sadar turut mengucapkan selamat menikmati kepunahan atas nalar kritis dan budaya intelektual. Hingga kelak menempuh sarjana yang minim kesadaran bermasyarakat.
Hidup Mahakerja! Eh… salah, Hidup Mahasiswa!
*Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Instagram: @achmdhidayat
Discussion about this post