Oleh: Panasea*
Di empat tahun kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), tindasan terhadap rakyat semakin berlipat ganda. Berbagai skema ekonomi neoliberal dijalankan dengan baik oleh Jokowi-JK melalui sederet kebijakan paket ekonominya. Paket ekonomi yang dikeluarkan telah mengakibatkan perampasan hak rakyat yang semakin masif terjadi di seluruh sektor pokok rakyat.
Di sektor tani, perampasan dan monopoli tanah semakin masif terjadi di seluruh daerah di Indonesia yang semakin merosotkan kehidupan petani serta meningkatkan jumlah petani tak bertanah. Di sektor Buruh juga mengalami penderitaan akibat dari masif dan intensifnya penerapan politik upah murah yang dilegitimasi dengan hadirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Sehingga, kelas buruh terus terjerat dalam upah murah dan penindasan yang semakin mempersulit kehidupan buruh.
Selain itu, tindakan intimidasi, kekerasan, penangkapan, penembakan hingga jatuhnya korban jiwa semakin intens di empat tahun kepemimpinan Jokowi melalui pengerahan aparat negara baik SATPOL PP, POLRI dan TNI. Kondisi ini, semakin memperterang wajah asli Rezim Jokowi sebagai pemerintahan fasis, anti rakyat, dan anti demokrasi.
Di sektor pemuda mahasiswa, praktek privatisasi, komersialisasi, dan liberealisasi pendidikan semakin menguat di dalam sistem sekolah dan kampus. Kebijakan pemangkasan anggaran Biaya Oprasional Pendidikan Tinggi (BOPTN) semakin masif. Di tahun 2018, BOPTN sebesar 3,7 Triliun rupiah, terjadi pengurangan 800 milyar dari tahun 2017 yang berjumlah 4.5 Triliun Rupiah. UU Nomor 12 Tahun 2012 sebagai legitimasi dari privatisasi, komersialisasi, dan liberalisasi pendidikan telah memberikan dampak terhadap pemuda mahasiswa. Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diamanatkan oleh UU Nomor 12 Tahun 2012 semakin membuat pendidikan semakin mahal. Di tahun 2018, peningkatan biaya kuliah mengalami peningkatan 200-300%.
Selain biaya kuliah yang mahal, praktek pungutan liar (pungli) semakin marak terjadi dikampus-kampus, pungutan biaya pungli terhadap mahasiswa yang mengunakan aula kampus kampus, biaya tes kesehatan, biaya wifi, dan lain sebagainya. Seperti pungutan sebanyak Rp. 100.000 persemester terhadap mahasiswa angkatan 2018 untuk wifi terjadi di Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo, di Universitas Tadulako (UNTAD) Palu, mahasiswa baru angkatan 2018 dipungut biaya tes kesehatan sebesar Rp. 80.000 permahasiswa. Hal tersebut diberlakukan di seluruh fakultas dan secara khusus di Fakultas Hukum. Mahasiswa baru di pungut Rp 150.00 untuk Tes Urin yang bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN).
Mahalnya biaya kuliah dan maraknya pungutan liar di kampus-kampus, menjadi bukti semakin menguatnya praktek komersialisasi di pendidikan tinggi yang bertujuan untuk merauk keuntungan sebesar besarnya dengan merampas hak-hak demokratis mahasiswa. Tentu peningkatan biaya pendidikan yang semakin mahal akan menambah beban rakyat ditengah merosotnya ekonomi rakyat akibat praktek perampasan tanah dan politik upah murah. Sehingga, hak rakyat untuk mengakses pendidikan tinggi semakin jauh dari yang diharapkan.
Kampus sebagai bagian dari otonomi negara, tidak bisa menghindar dari kepentingan ekonomi-politik pemerintah yang berkuasa. Pendidikan dikomersialisasi, kurikulum yang bias kelas, mahasiswa bak sapi perah dan tradisi intelektual yang mengarah ke pembebasan sosial untuk kaum yang bawah yang tertindas dan tersubordinasi dibuat senyap. Mahasiswa terus dipaksa untuk mengabdikan dirinya terhadap perusahan milik borjuasi komparador, tuan tanah dan kapitalisme monopoli melalui kurikulum, program riset, inovasi dan berbagai program kerjasama. Seperti yang terjadi di Univesitas Soedirman (UNSOED), universitas berkerja sama dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) yang kemudian melahirkan kebijakan terhadap mahasiswa UNSOED yang melakukan KKN. Dalam program KKN tahun 2016, mahasiswa UNSOED menjalankan Program sosialisasi tentang “MIGRASI AMAN” yang bertujuan memuluskan program export tenaga kerja (buruh migran) berkedok Migrasi Aman. Pada kenyataannya, migrasi rakyat Indonesia ke luar negeri merupakan dampak dari ketidakadilan di dalam negeri sendiri yang memaksa rakyat bermigrasi (forced migration atau migrasi paksa) untuk harapan penghidupan yang lebih baik. Fakta lainnya, buruh migran Indonesia tidak mendapatkan perlindungan dari negara dan bahkan menjadi korban perdagangan manusia dan eksploitasi dalam berbagai bentuk.
Lebih lanjut lagi, berbagai upaya perjuangan mahasiswa di dalam kampus juga semakin dikebiri dengan berbagai tindakan anti demokrasi baik oleh pihak kampus maupun aparat negara. Melemahnya gerakan mahasiswa terkhusus pasca reformasi bisa kita lihat dari dalam kampus, sebagai tempat proses pembentukan intelektual mahasiswa, telah terjadi kemerosotan wacana, kampus lebih sering mengadakan diskusi motivasi dibanding diskusi idiologis gerakan. Tradisi intelektual telah redup, perdebatan-perdebatan wacana di ruang kelas, konfrontasi antara mahasiswa dengan dosen atau sesama mahasiswa sudah tidak ada lagi, sedangkan disaat bersamaan birokrasi kampus berupaya untuk menghilangkan tradisi tersebut, karena jika tradisi itu hidup maka akan menjadi ancaman bagi oligarki kekuasaan. Artinya ada upaya pengebirian yang dilakukan terhadap mahasiswa dari watak konfrontatifnya.
Di dalam kampus mahasiswa juga terus dikebiri dan dirampas hak politiknya. Melalui surat edaran dikti tentang pelarangan organisasi dan Surat Keputusan (SK) Rektor pendukungnya, kampus selalu melakukan pemberangusan terhadap gerakan mahasiswa. Tindakan tersebut meliputi pelarangan berorganisasi, pembubaran kegiatan dan aktifitas di dalam kampus, jam malam, hingga pemecatan (Drop Out) kepada mahasiwa yang melakukan demonstrasi. Tercatat, Sejak Juli 2016, rezim Jokowi-JK melalui kampus maupun aparat negara telah melakukan 4 kali pembubaran kegiatan mahasiswa di Univ Telkom Bandung, Taman Cikapayang Bandung, Sleman DIY, dan Universitas Muhammadiyah Mataram. Sementara itu, terjadi pula perusakan failitas diskusi yang dilakukan oleh pihak kampus di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (Umsu). Tindak skorsing juga terjadi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan total korban skorsing sebanyak 115 mahasiswa. Sementara di kota Mataram satu orang mahasiswa dikriminalisasi dan sebanyak 24 mahasiswa Umsu mendapat sanksi DO karena melakukan aksi demonstrasi di kampusnya.
Atas dasar tersebut perlu kiranya kita menyerukan kepada seluruh pemuda mahasiswa Indonesia untuk memperkuat dan memperluas organisasi untuk memajukan perjuangan massa dikampus dan ambil bagian secara aktif dalam perjuangan rakyat sebagai wujud pengabdian pemuda mahasiswa kepada rakyat.
*) Aktivis Mahasiswa UMM
Discussion about this post