Zaman Renaisans adalah titik balik peradaban Eropa. Ia menggeser Abad Pertengahan, periode kemerosotan intelektual yang panjang, di mana semuanya diukur oleh standar gereja, menuju periode pencerahan (Aufklärung) yang gemilang, yang menjunjung tinggi akal budi.
Transisi ini terjadi sejak akhir abad 14 hingga awal 16 M dan dipelopori oleh kaum intelektual yang akrab disebut humanis. Salah satu ciri mereka adalah obsesi melahirkan kembali peradaban intelektual ala Yunani dan Romawi kuno, yang khas akan filsafat, seni, hukum dan sastra.
Posisi kelas borjuasi terdidik ini terus menguat, mempengaruhi dinamika dan alam pikiran masyarakat, dengan melahirkan banyak ilmu dan temuan yang agung. Prestasi mereka menjadikan kembali Eropa sebagai episentrum dunia.
Dan dari sekian banyak temuan, mesin cetak Johannes Gutenberg menempatkan pengaruhnya dalam sejarah dunia dengan tak terbantahkan.
Revolusi Percetakan Gutenberg
Teknologi cetak sebetulnya telah ada sebelum Gutenberg. Michael H. Hart yang mengulas pengaruh Gutenberg dalam Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (1993) menjelaskan, bahwa jauh sebelumnya, Eropa telah mengenal apa yang disebut cetak blok. Sebuah teknologi cetak dengan cukilan kayu.
Cara operasinya adalah dengan mengukir huruf pada balok-balok kayu. Balok yang berisi timbulan huruf dan angka tersebut, disusun sedemikian rupa membentuk urutan teks yang ingin dicetak. Kemudian, sisi balok diolesi tinta, ditekan pada kertas, hingga menempel dan membentuk halaman berisi tulisan. Teknik ini ditemukan di Cina dan telah diadopsi Eropa sejak beberapa dasawarsa sebelumnya.
Teknik ini memang mengacu pada teknologi cetak yang telah dikenal di Cina, juga Jepang, sejak abad 8 M. Sebuah teknologi dengan segel dan bulatan segel yang cara operasinya hampir serupa dengan cetak blok. Cetakan hurufnya terbuat dari semacam tanah yang tak tahan lama.
Pada 11 M di Cina, teknologi ini berhasil dikembangkan oleh Pi Sheng dengan tambahan komponen huruf cetak bergerak. Pada 15 M, teknologi ini semakin melaju dengan tambahan komponen cetak metal di Korea.
Tetapi semua teknologi cetak tadi memiliki kekurangan yang sama. Untuk menghasilkan buku, harus dibuat satu set huruf dan angka dari cukilan kayu atau logam, yang sesuai dengan tulisan yang diinginkan di setiap halaman. Sangat tidak praktis bahkan untuk membuat satu buku, bukan?
Dan di sinilah kelebihan Gutenberg. Pada 1453, Ia berhasil menggabungkan anasir-anasir itu menjadi satu teknologi mesin cetak modern. Tak hanya untuk mencetak abjad dan angka, tetapi juga gambar. Ia memasangkan teknik metal yang bisa dipindah-pindah, menggantikan teknik kayu dan tanah liat yang dipakai sebelumnya.
Sang ahli logam ini berhasil memasangkan tiga komponen fundamental percetakan modern. Pertama, huruf cetak bergerak serta prosedur setelan huruf. Kedua, tinta dan kertas yang lebih klop. Dan ketiga, sistem yang sangat akurat, efektif, produktif dan berbiaya murah.
Sistem mesin, yang awalnya digunakan Gutenberg untuk mencetak sebuah Alkitab berbahasa Latin pada 1455, berhasil meminimalisir kesalahan penulisan dan pencetakan, serta lebih menumbuhkan gairah membaca dengan cover dan halaman buku yang lebih indah. Menjadikan mesin cetak sebagai teknologi produksi massal yang utama.
Berubahnya Wajah Eropa
Gutenberg pun tak menyangka, jika penemuannya bakal berpengaruh dahsyat. Tak hanya bagi Jerman, tetapi juga Eropa dan dunia.
Sebelumnya, di Abad Pertengahan, hanya kalangan minoritas agamawan dan bangsawan yang bisa menikmati buku. Semua manuskrip dan karya tulis dicetak dalam bahasa Latin, dan disimpan oleh kekaisaran dan gereja. Karena hanya mereka yang memiliki akses pendidikan serta kemampuan membaca. Akibatnya, privilese ini dimanfaatkan untuk menjadi mufasir tunggal kebenaran.
Ernst H. Gombrich dalam Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda (2015) menggambarkan keseharian kala itu. Mayoritas hidup miskin dalam kungkungan feodalisme. Mereka mengamini mitos, takhayul dan apa saja yang bersumber dari gereja, juga lebih sibuk beribadah dan berdo’a daripada bekerja. Apapun yang berlawanan adalah bid’ah yang harus dimusnahkan.
Salah satu contoh termasyhur adalah inkuisisi gereja terhadap Galileo Galilei pada 22 Juni 1633. Perkaranya, Galileo melalui karyanya Dialogue Concerning the Two Chief World Systems (1632), membuktikan kebenaran tesis heleosentrisme Nicolaus Copernicus, bahwa bumi dan planet lainnya mengitari matahari. Ia menentang tafsir injil yang menyatakan sebaliknya (geosentrisme).
Dengan penemuan mesin cetak, akses terhadap pengetahuan dan ilmu menjadi milik semua orang. Mesin ini kemudian diduplikasi dan dikembangkan di berbagai penjuru Eropa. Para humanis pun memanfaatkan untuk semakin banyak mempublikasi dan menerjemahkan literatur Yunani dan Romawi, juga karyanya sendiri.
Semangat pencerahan yang menggejala, membuat gereja dan kerajaan kelimpungan untuk menghentikan ledakan informasi yang kian hari kian terjadi. Sesuatu yang luar biasa, bagi sebuah peradaban yang sebelumnya bahkan masih menggunakan merpati untuk berkirim surat.
Dinamika sosial ini pun tak pelak memperluas cara komunikasi verbal di ruang publik. Asa Briggs dan Peter Burke dalam Sejarah Sosial Media: Dari Gutenberg sampai Internet (2006), menggambarkan di Abad Pertengahan gereja adalah pusat media massa. Karena selain sebagai podium khutbah dan ibadah, juga difungsikan sebagai pusat informasi, dan kegiatan akademis di luar universitas.
Pada tahun 1466 mesin cetak sudah dikenal di Basel. Pada 1467 di Roma, 1468 di Paris dan Plzen, 1469 di Venesia, 1473 di Leuven dan Valencia, 1476 di Westminster, serta di Praha pada 1477.
250 lebih tempat percetakan pun menyebar di Eropa pada tahun 1500. Sebelum tahun itu, 20 juta jilid buku telah dicetak. Angka ini secara drastis meningkat hingga 200 juta jilid buku sebelum tahun 1600.
Beberapa inovasi perbukuan juga dilakukan. Di antaranya menambahkan daftar isi, indeks alfabet dan catatan kecil dari penulis, penerbit atau penerjemah.
Sedangkan kemunculan surat kabar diawali di Bremen dan Strasbourg pada tahun 1609. Dan kemunculan majalah pada 1704 di Inggris.
Muncul juga banyak pekerjaan baru: juru tulis, petugas perbukuan, pembaca surat, notaris, penulis publik, petugas pos dan lain-lain.

Fajar Nasionalisme
Dalam Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang (2008), Benedict Anderson menyebut mesin cetak membidani apa yang disebutnya ‘kapitalisme cetak’. Sebuah nafsu kapitalistis untuk mencari pasar seluas-luasnya dalam penerbitan buku, surat kabar maupun karya tulis lainnya.
Pada kurun 1500-1550, Eropa tengah menikmati periode kemakmuran. Dan para kapitalis kaya tak mau ketinggalan untuk turut mendirikan usaha penerbitan di seluruh pelosok Eropa. Motif utamanya menjual karya-karya yang mampu menarik pasar, dan menghabiskan stok buku untuk mengeruk laba sedalam-dalamnya. Pangsa pasar utama adalah kaum cendekia, yang tentu mengerti bahasa Latin.
Tetapi pada pertengahan abad 17, Eropa ditimpa kelangkaan uang. Para pencetak dan penerbit kemudian memutar otak untuk tetap memasarkan buku ke seantero Eropa secara lebih murah, juga dalam terjemahan bahasa ibunya masing-masing.
Pembumian bahasa ibu inilah yang merangsang kecintaan masyarakat terhadap segala identitas masing-masing bangsanya, sehingga turut melahirkan kesadaran nasional.
Salah satu contoh dapat dilihat pada dampak gerakan reformasi. Pada 31 Oktober 1517 Martin Luther memporak-porandakan kekuasaan kristiani di Vatikan. Musababnya, 95 dalil gugatan terhadap Holly Trade, indulgensi yang diperdagangkan oleh gereja, yang ia tempelkan di pintu kapel Wittenberg, Jerman.
Gugatan ini ditujukan terhadap Curia Romana, pusat pemerintahan di Roma untuk seluruh gereja, kemudian dicetak sebagai pamflet, diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman sehari-hari, dan telah dapat ditemui di seluruh penjuru Jerman hanya dalam tempo 15 hari.
“Setiap orang adalah imam bagi dirinya sendiri.” Bunyi salah satu dalil yang menginspirasi keberanian untuk menafsir secara individual, dan melawan monopoli tafsir gereja. Selain itu, pamflet ini juga mengagungkan kebebasan dan kemerdekaan Jerman dalam narasinya.
Dan berkat propaganda ajaran dan karya Luther, Jerman kala itu digelorakan oleh kebanggaan Res Germanicae (hal yang berbau ras Jermania), juga hasrat kebebasan dan kemerdekaan.
Situasi yang dalam gilirannya juga menginspirasi Perang Petani Jerman yang terjadi pada 1524-1525. Sebuah revolusi yang dikobarkan para petani miskin pedesaan untuk melawan dominasi para bangsawan dan rohaniawan.
Gerakan protestan dan kapitalisme cetak lantas menguras daya jual-beli karya-karya popular dengan harga murah, dan menciptakan khalayak pembaca yang begitu luas, termasuk pedagang dan perempuan yang sebelumnya umum tak bisa berbahasa Latin.
Dan secara berangsur, terutama juga didorong penemuan ‘Dunia Baru’ oleh Christopher Colombus pada 1492, interaksi antara kapitalisme, mesin cetak dan linguistik menyiapkan panggung bagi kiprah bangsa modern.
Kesadaran nasional terbentuk dan terhubung melalui barang-barang cetakan, dengan perkenalan dan mata yang lebih terbuka terhadap keberadaan banyak orang yang beragam bahasa dan budaya, di negeri-negeri yang berbeda.
Situasi yang sama juga bisa dikomparasi dengan sejarah bangsa-bangsa lainnya, termasuk Indonesia. Medan Priyayi, yang didirikan Tirto Adi Suryo pada 1 Januari 1907, sebagaimana dicatat Pramoedya Ananta Toer dalam Sang Pemula (1985), adalah gerakan pers pribumi pertama dengan gagasan nasionalisme.
Beberapa motifnya utamanya adalah mempropagandakan kesadaran nasional, dan pengorganisasian rakyat dalam perjuangan kemerdekaan. Kehadirannya adalah awal dari transisi perlawanan terhadap kolonial Belanda yang awalnya bersifat lokal, menjadi nasional.
Maka tak berlebihan jika Francis Bacon, mengutip Alisson Brown dalam Sejarah Renaisans Eropa (2009), menyebut mesin cetak sebagai salah satu dari tiga penemuan terpenting yang mengubah wajah dunia.
Discussion about this post