Tujuh tahun silam, di sebuah kereta menuju Yogyakarta, seorang pria paruh baya melontarkan pertanyaan menohok pada saya. Awalnya hanya sekedar obrolan basa-basi karena kami duduk bersebelahan.
Namun, suasana berubah saat ia menyampaikan sebuah kalimat tanya yang rasanya seperti todongan pistol. “Kuliahnya Sosiologi? Itu jadi apa ya nanti kerjanya?”, begitulah kira-kira pertanyaan yang saat itu membuat saya ‘dongkol bukan main‘.
“Jadi Presiden, pak!”, jawab saya spontan dengan memasang raut muka ‘masam‘. Lalu, bapak itu mengangguk dan percakapan berakhir. Maaf, saya kesal karena seakan perjalanan kuliah saya yang saat itu sudah ditempuh di tahun kedua rasanya sia-sia.
Kisah di atas merupakan salah satu dari sekian kejadian serupa yang saya alami seumur hidup. Selalu saja ketika dengan percaya dirinya saya menjawab “Sosiologi”. Saat ditanya jurusan kuliah yang diambil, ekspresi si penanya seperti meremehkan.
Bagi mereka, Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang tidak menjanjikan ‘duit‘ banyak, tidak seperti disiplin Ilmu Ekonomi, Teknik, dan Kedokteran.
Ah, sudahlah! Kenapa orang-orang ini suka sekali berpikir soal ‘duit’? Kenapa segala sesuatu selalu dipandang dari perspektif ke”duit”an? Kenapa? Kalau mau banyak ‘duit’, kan mending wirausaha saja. Bener nggak sih?
Menurut saya, masyarakat Indonesia kurang memahami disiplin Ilmu Sosiologi. Banyak yang salah mengira kalau Sosiologi itu “yang berhubungan dengan kepribadian”. Padahal yang dimaksud mungkin Psikologi. Mentang-mentang sama-sama ada kata ‘logi‘ nya.
Tapi, kenapa orang-orang bisa tahu Biologi? Justru Psikologi dan Sosiologi sering disama-samakan, sedangkan Biologi secara umum sudah diketahui.
Fix! Berarti memang orang-orang belum memahami Sosiologi dan kegunaannya di dunia nyata serta dunia kerja. Ya! Mereka belum ngerti aja kalau sarjana Sosiologi itu Bukan Kaleng-kaleng.
Belajar Sosiologi itu berarti belajar tentang orang banyak yang ngumpul jadi satu. Jelas kan perbedaannya dengan Psikologi? Karena Psikologi hanya mempelajari satu orang aja.
So, wajar banget kalau definisi Sosiologi secara umum adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Di dalamnya ada konflik, pertemuan banyak orang dengan karakter dan latar belakang yang bermacam-macam, ada peraturan dan sistem, mungkin juga kepentingan, dan ada juga nilai tradisi.
Sosiologi bisa mengantarkan orang yang mempelajarinya untuk mengerti dan peka dengan kondisi nyata ‘bin’ konkrit yang terjadi di sebuah masyarakat. Contohnya, melalui Ilmu Sosiologi, kita bisa memahami dan membaca dengan mudah cara berinteraksi masyarakat di Desa Mulyoagung, Kabupaten Malang.
Selain interaksi sosialnya, bisa juga mudah mencium bau-bau konflik, cepat memahami tradisi dan peraturan di masyarakat itu, menganalisa kesenjangan yang ada di masyarakat, dan juga memberdayakan masyarakat dengan ide-ide brilian.
“Kalau cuma kayak gitu, semua orang juga bisa. Tidak harus Sosiolog!”. Pernyataan ini lumayan ‘nyelekit’ sih. Memang, semua orang bisa jadi seperti yang saya contohkan di atas. Tapi, prosesnya lama. Padahal sudah ada disiplin ilmunya, dan tinggal dipilih, dipelajari serta dipraktekkan saja.
Artinya, disiplin Ilmu Sosiologi akan mengajarkan hal-hal tersebut. Setelah lulus, bisa berkontribusi nyata di daerah asal, dan siapa tahu bisa mengkoordinir warga untuk membangun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Akhirnya ekonomi rakyat meningkat. Mungkin juga menjadi Kepala Desa atau perangkat desa muda yang berdaya.
Bukan hanya di desa, di perusahaan pun, peran Sosiolog sangat dibutuhkan. Membaca perilaku para karyawan dengan latar belakang serta karakter yang berbeda-beda itu bisa dilakukan Sosiolog, lho! Dia akan mampu menganalisa dan memetakan orang-orang di dalam perusahaannya.
Kalau orang dengan latar belakang A, bertemu dengan orang berkarakter B, jadinya bagaimana, sih? Hal-hal seperti ini bisa membantu banget dalam penentuan penugasan serta tanggungjawab. Keren, kan? Wajar toh kalau saya bilang sarjana Sosiologi bisa jadi Presiden?
Perkara tidak bisa menghasilkan duit, seharusnya pola pikir ini yang perlu di rubah. Bukan uang yang jadi orientasi utama, tapi kebermanfaatan dalam meningkatkan kualitas bangsalah motivasi besarnya.
Kontribusi para Sosiolog, dengan kemampuan menganalisa, meneliti kondisi sosial, memberdayakan masyarakat, menjadi pendidik bahkan konsultan sosial, sangat bisa membantu tercapainya motivasi besar tersebut.
Alhasil, bukan satu dua orang bangsa Indonesia saja yang semakin makmur, tapi justru makmur bersama, karena ada yang memberdayakan bangsa dengan tepat dan sesuai ilmunya.
Begitulah, betapa bukan kaleng-kalengnya peran para sarjana Sosiologi di Indonesia. Maka, jika ada yang masih mempertanyakan kebermanfaatan eksistensi para sarjana Ilmu Sosial, khususnya Sosiologi. Coba deh, pertimbangkan lagi pendapatnya dan perluas lagi cakrawala pandangnya, agar tidak melihat sesuatu hanya dari satu perspektif saja.
Discussion about this post