Sejak pertama kali ditemukan, sepertinya sebuah hukum tak tertulis tentang kopi telah berlaku secara universal. Bahwa di semua zaman, kopi akan selalu menjadi primadona. Ia tak pernah kehabisan tren, selalu ikut membentuk kebudayaan dunia.
Dewi Lestari memberikan ungkapan menarik dalam kumpulan prosanya bertajuk Filosofi Kopi (2014). “Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan”.
‘Sisi pahit’ yang Ia maksud, mungkin, menjelaskan segala unsur kehidupan yang memiliki kelebihan dan kekurangan. Mungkin juga mengungkapkan, bahwa kenikmatan kopi juga memiliki sisi kelam.
Mari beralih ke suatu masa di Abyssinia (Ethiopia), di mana kisah kopi diawali.
Alkisah, seorang penggembala bernama Kaldi kegirangan melihat kambingnya yang segar bugar setelah memakan biji bun (buah kopi). Si penggembala pun ikut mencicipi, dan juga merasakan energi segar seketika.
Kaldi mengabarkan itu kepada orang-orang di kampungnya. Hingga mereka lazim memakannya dengan membungkus biji bun dalam lemak hewan.
Setelah Ethiopia menginvasi Yaman pada abad 6, bun mulai marak ditanam di sana. Hingga pada abad 13, kelompok sufi Shadiliyyah asal Yaman menemukan cara baru untuk mengonsumsinya. Biji bun ditumbuk, kemudian diseduh dengan air panas, dan diminum. Minuman ini akrab disebut qahwa —istilah yang dulu digunakan untuk menyebut wine.
Banyak sufi menjadi terbiasa mengonsumsi. Saat beri’tikaf dan beribadah suntuk di malam hari, mereka meminumnya untuk kesegaran stamina dan konsentrasi. Mereka menyambut baik juga karena qahwa dianggap dapat menggantikan khamr (minuman keras). Sebuah pertautan spiritual yang membuat qahwa digelari The Wine of Islam.
Di Yaman, orang kaya biasa memiliki ruangan khusus qahwa. Sedangkan mayoritas, yang pas-pasan, meminumnya di kaveh kanes (rumah/kedai kopi).
Kedai kopi lantas menjadi semacam pelancongan sehari-hari. Berbagai kalangan meramaikan ngopi sembari menghasilkan kegiatan yang beragam. Dari sekadar canda ria, diskusi intelektual, hingga judi dan pesta pora. Popularitasnya juga mulai mendunia seiring dengan meluasnya pengaruh Islam.
Masyarakat Arab yang mulai sadar akan potensi ekonomi bun kemudian mencoba memonopoli. Mereka menjaga perkebunan dengan ketat, dan menutup peredarannya keluar dari wilayah Arab.
Hingga pada abad 15, Baba Budan, seorang jamaah haji asal India, menyelundupkan tujuh biji bun, dan merintis perkebunan bun di kampungnya.
Sisi Kelam Kopi di Indonesia
Saat mengusir Portugis dari Ceylon (Srilanka) pada 1636, Belanda menemukan berhektar-hektar kebun kopi. Kebun itu dulunya milik orang-orang Arab yang meninggalkan Ceylon karena kedatangan Portugis.

Vereenidge Oostindische Compagnie (VOC), kongsi dagang internasional Belanda, tahu bahwa kopi bakal memiliki nilai ekonomi yang tinggi di pasaran dunia. Mereka menyewa Carolus Linnaeus, Bapak Taksonomi modern asal Swedia, untuk menemukan cara terbaik dalam budidaya kopi.
Berkat Linnaeus, VOC mengerti bahwa Nusantara adalah alam yang mumpuni untuk mewujudkan hasratnya. Iklim sub-tropis dengan hawa pegunungan yang sejuk, memungkinkan budidaya kopi dilakukan secara maksimal.
Linnaeus lantas menamakan hasil budidayanya dengan Arabica. Sebuah nama yang mengacu kepada bangsa Arab sebagai penemu pertama budidaya kopi.
Untuk mengujinya, Nicholas Witsen, Wali Kota Amsterdam yang juga memegang saham di VOC, mengutus Adrian van Ommen, Komandan Angkatan Perang VOC, untuk mengirimkan bibit kopi Arabica ke Batavia (Jakarta) pada 1696. Di tahun itu juga, banyak pedagang dari Belanda membawa kopi dari Malabar, Barat Daya India, ke Jawa.
Pada 1707, bibit kopi mulai dibagikan kepada para kepala daerah pribumi sepanjang Batavia dan Cirebon. Namun sayang, budidaya di daerah-daerah ini gagal. Selanjutnya VOC beralih ke Jawa, Sumatera, Sulawesi, Timor dan Bali.
Priangan, Kabupaten Cianjur, kemudian membangkitkan optimisme VOC dan Belanda. Tanah Priangan sangat subur sebagai daerah vulkanis dengan ketinggian antara 1.800 hingga 3.000 m di atas permukaan laut. Di sana lantas didirikan perkebunan kopi pertama, di luar jazirah Arab dan Ethiopia.
Kopi Priangan akhirnya mencatatkan sejarah. Ia memecahkan harga tertinggi di Balai Lelang Amsterdam. Waktu itu harga kopi dihitung per pikul. Dalam lelang, sepikul dengan berat 125 Pon dihargai 50 Gulden.
Kualitas ini memberikan reputasi dunia. Karena rasanya yang begitu mantap, kopi Priangan menggeser reputasi Yaman, dan menjadi komoditas andalan VOC. Sebuah popularitas yang memberikan sebutan a Cup of Java—pengganti kata kopi di Eropa, dan mengangkat Hindia Timur, terutama Jawa, sebagai salah satu produsen kopi terbaik dunia.
Di Perancis, karena kecintaannya, Louis XIV bahkan membudidayakan kopi ini di kebunnya.
Begitu tingginya pengaruh ‘kopi Jawa’ di Eropa, hingga Francois Valentijn, Pendeta asal Belanda, pernah berujar “Kopi Jawa umum begitu disukai hingga pelayan-pelayan wanita serta penjahit tidak mau bekerja sebelum menikmati cairan hitam tersebut”.
Dalam Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (2014), Jan Breman mencatat bagaimana kualitas kopi Jawa yang menjanjikan justru menjadikan rakyat makin melarat.
Preangar Stelsel (Sistem Priangan) diberlakukan pada 1720. Sebuah sistem yang mewajibkan petani menanam kopi di bawah pengawasan pemerintah lokal. Pemerintah lokal membayar murah petani untuk terus meningkatkan produksi, dengan harga jual kopi yang terus merendah untuk VOC.
Tingginya jumlah dan kualitas produksi kopi menjadikan VOC pemain utama dalam bisnis kopi yang sedang menggila di Eropa. Mereka menguasai setengah sampai tiga perempat perdagangan kopi dunia, dan setengahnya dihasilkan dari Priangan. Belanda pun menjadi pengekspor kopi terbesar di dunia.
Prestasi ini pun diganjar dengan kerja rakyat yang makin tidak manusiawi. Bahkan saat VOC gulung tikar pada abad 18, dan posisinya digantikan secara penuh oleh kerajaan Belanda.
Jika membaca Max Havelaar, terlihat Multatuli (Eduard Douwes Dekker) menggambarkan secara satire ketamakan Belanda terhadap kopi melalui Batavus Droogstoppel. Seorang makelar kopi asal Amsterdam, yang menganggap kopi sebagai simbol monumental, dan hidup kaya raya dengan pakem gold, glory and gospel.
Dengan latar masa Cultur Stelsel (Sistem Tanam Paksa) yang diberlakukan pada 1830 sebagai pengganti Sistem Priangan, Droogstoppel mengantarkan pembaca melihat ketertindasan rakyat kecil Hindia Timur, yang hidup di tengah kolaborasi dua golongan penindas. Yaitu kolonial Belanda dan Pemerintah Pribumi.
Sejarah Indonesia sebagai koloni menunjukkan ‘sisi pahit’ kopi. Ia membuktikan, bahwa kopi memang tak semanis dalam gaya hidup perkotaan dan kantong kaum urban hari ini.
Sebuah sejarah ketertindasan yang panjang, yang membuat banyak petani pribumi saat itu mulai membenci kopi. Bagi mereka, budidaya kopi hanya menambah beban tanpa penghasilan tambahan. Mereka mulai berani kerja serampangan, merusak kualitas kopi, dan melarikan diri dari pekerjaan