Oleh: Baikuni Alshafa*
Sejak Covid-19 dinyatakan masuk melanda indonesia pada minggu pertama bulan Maret 2020. Jumlah pasien positif hingga kini menjadi 579 (bisa bertambah ataupun berkurang). Korban meninggal saat ini meningkat sementara sudah 102 orang, sedangkan yang sembuh 59 orang. Angka ini boleh diperdebatkan dan bisa dibandingkan dengan Negara-negara terjangkit Pandemi yang serupa, dimana kurang lebih 121 Negara, Dunia dibuat kacau.
Di Indoneesia, wabah Covid-19 menyimpan berbagai cerita, salah satunya adalah masyarakatnya akhirnya gemar melakukan parodi di media sosial, seperti yang satu ini, “Gara gara corona arek sekolah prei, dodolanku sepi, gak onok sing tuku, aku wes gak nduwe duwek. Yow opo iki lur” (Karena Coronavirus anak sekolah libur, jualan saya sepi, tidak ada yang beli, saya sudah tidak punya uang. bagaimana ini saudara).
“Corona-corona, goro-goro awakmu masker dadi longko, regane dadi larang, ngalah-ngalahne regone mutiara”. Opo maneh semprotan tangan iku wes podo larang“, (Corona-corona, gara-gara kamu masker jadi langka, harganya mahal bisa mengalahkan harganya mutiara. Apalagi hand sanitizer juga ikut mahal). Begitulah petikan sebagian dari candaan sekaligus curhatan, menyikapi situasi pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dimata masyarakat. Parodi masyarakat yang dilakukan dibeberapa media sosial menggambarkan situasi saat ini. Sekilas menghibur, namun disadari atau tidak menjadi kenyataan yang dirasakan olehnya.
Sontak pemerintah serta masyarakat berbondong-bondong untuk social distancing (jaga jarak), hal ini penting untuk mencegah pandemi semakin meluas. Namun, dibalik wabah covid-19 yang melanda, ada yang luput dan tidak masuk dalam hitungan serta tanggungan negara. Dimana selain pencegahan dan membayar hutang semakin menumpuk sejalan dengan nilai tukar Rp16.500;00/U$D terhadap dolar, yang mungkin negara luput ialah, tapi saya tulis diakhir saja ya?
Setiap negara yang terkena dampak, sudah pasti berupaya mengusir pandemi jahat ini dari kemurkaannya dimuka bumi. Karena jika tak kunjung terusir, maka akan semakin membuat lumpuh perekonomian dunia, eh sudah hampir lumpuh ya? Tanpa harus perang konvensional ala perang dunia kedua tempoe doeloe. Katanya menurut banyak literatur, perekonomian menjadi lumpuh serta krisis kemanusiaan menjadi akut. Semoga saja Indonesia tidak ikut lumpuh, dan tetap sehat Wal aafiaat, amin.
Namun tanda itu mulai menuai gejala dirasakan oleh banyak orang, seperti parodi masyarakat diatas (parodi di medsos). Oke memang benar pemerintah dan sebagian stack holder mengkampanyekan untuk social distancing dan diam dirumah, serta tempat-tempat keramaian dipaksa diberhentikan.
Bahkan tenaga medis pun dengan semangat keberaniannya membuat jargon “Biar saya yang disini, kalian dirumah saja“. Memang semestinya harus begitu, ahlinya bekerja untuk menolong orang terjangkit positif Covid-19, yang bukan ahlinya (tenaga pendukung) cukup diam dirumah. Begitulah idealnya.
Namun menyambung tanggungan negara yang luput tadi, masih ada pertanyaan kecil yang nyumpel (ganjil) mewakili parodi diatas. Bagaimana mau diam dirumah jika untuk makan dirumah saja susah. Tolong dong negara bantu jawab. Jika yang bekerja saja gajinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Bagaimana dengan orang yang pengangguran? Cukupkah bertahan dengan mengisolasi diri selama 14 hari dirumah? Siapa yang mau memberikan makan masyarakat jika semua harus diam dirumah, dilematis juga sih? Kecuali pemerintah mau mensubsidi kebutuhan masyarakat, selama pandemi Covid-19 ini melanda, sehingga yang mengisolasi diri dirumah juga tercukupi untuk bertahan hidup.
*Penulis adalah aktivis dan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Discussion about this post