Oleh: Ade Chandra Sutrisna*
Sempat, selama beberapa waktu istri saya mengalami sakit tenggorokan hingga sesak napas. Kami takut, itu merupakan satu dari sekian gejala positif Covid-19. Curiganya dia sudah masuk kategori Orang Dalam Pemantauan (ODP). Bagaimana tidak, hingga saat ini dia termasuk ke barisan relawan yang tengah mengurusi beberapa hajat yang berkaitan dengan Covid-19.
Istri stres harus bertemu banyak relawan hingga keluar-masuk Rumah Sakit yang jadi rujukan penanganan pasien Covid-19. Memastikan setiap program mitigasi berjalan dengan lancar dan menemui setiap calon stakeholder yang mau mendukung gerakan ‘beresiko’ ini. Saya khawatir. Tapi belakangan saya tahu, istri saya hanya Psikosomatis.
Saya yang merupakan pegawai swasta juga sedang menikmati masa-masa “dirumahkan”. Namun tidak bisa tenang, karena di luar sana istri harus berjibaku dengan gerakan tanggap bencana ini. Saya juga stres dihinggapi ketakutan atas apa yang mungkin menimpa istri saya. Bisa saja ia tertular, bisa saja ia menularkan, harus diisolasi dan sebagainya.
Psikosomatis Berujung Penyakit Fisik
Gangguan psikosomatis yakni ketika pikiran menyebabkan penyakit fisik. Gejala stres merupakan hal lumrah yang terjadi pada setiap orang. Namun hati-hati jika stres dibiarkan, karena bisa menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Inilah yang disebut gangguan psikosomatis. Penyakit tiba-tiba bermunculan bahkan memperparah gejala.
Orang yang mengaku mengalami gangguan psikosomatis biasanya setelah banyak mengonsumsi konten-konten bernada negatif yang berkaitan tentang Covid-19. Tak hanya tentang Covid-19 sebetulnya. Kabar negatif apapun, selain mengganggu kejiwaan seseorang, juga dapat berimplikasi pada sakit fisik. Seseorang menjadi paranoid.
Setiap gejala fisik yang dirasakan selalu dihubung-hubungkan dengan ciri-ciri penyakit tertentu. Faktor mental memunculkan gejala penyakit, tetapi penyakit itu sendiri tidak bisa ditemukan atau dideteksi secara fisik, atau mengeluh sakit yang tidak sesuai gejalanya, berbagai kondisi inilah dikelompokkan dalam gangguan psikosomatis. Jangan parno!
Diet media sosial (social media distancing) atau mengurangi bahkan menghindari overdosis penggunaan media adalah langkah yang sangat dianjurkan. Penting untuk kita menjaga kesehatan mental serta penting untuk menjaga daya tahan tubuh. Manajemen stres selama di rumah. Salah satunya dengan berhenti mengikuti group WhatsApp keluarga. He he
Stres bukan sekadar perasaan. Kondisi stres akan memicu beberapa reaksi, seperti tekanan darah meningkat, pembuluh darah menyempit, dan Anda pun akan bernapas lebih cepat. Tubuh melepas hormon kortisol dan adrenalin yang membuat kerja jantung menjadi lebih cepat. Hormon tersebut juga mampu meluapkan energi secara percuma sehingga merasa mudah lelah (Kemenkes).
Patutnya memang kita tidak menganggap remeh anjuran ini. Pasalnya, wabah yang pertamakali ditemukan di Wuhan, China ini tidak memandang kelas ekonomi tertentu. Si kaya dan si miskin punya peluang yang sama-sama besarnya terjangkit Covid-19. Baik pejabat negara ataupun bukan. Misalnya yang dialami Walikota Bogor, Bima Arya.
Sesuai anjuran yang dibuat Bima Arya, selain menerapkan social distancing, kita juga perlu melakukan social media distancing atau menjauhkan diri dari mengakses media sosial. Bukannya tanpa alasan, pasca Bima Arya dinyatakan positif Covid-19 hal yang dilakukan untuk mengurangi gejala stres yakni membatasi diri dari akses media sosial.
“Virus ini menyerang hati dan jiwa sebelum pernapasan dan paru-paru. Gua merasa baikan setelah ‘social media distancing’ hari kedua di RS. Socmed itu ICU Raksasa. Runtuh mental semua orang kalau digempur berita Covid-19. Drop imunitas,” kata Bima Arya, salah satu pejabat yang positif Covid-19 setelah perjalanan dinas ke luar negeri.
Bikin Kampanye Positif
Untuk menghindari paranoid terhadap Covid-19, belakangan saya bersama istri punya kesepakatan untuk berusaha tidak mengkonsumsi konten yang berkaitan dengan kabar negatif seputar pandemi. Tak hanya itu, kami sepakat untuk menghiasi setiap media sosial yang kami punya dengan kabar positif yang membangun optimisme.
Jadi, jangan terburu-buru menghujat Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny Plate yang mengajak masyarakat untuk bijak (membatasi diri) saat berselancar di ruang digital dan internet di tengah imbauan social distancing. Ada itikad baik dari Kominfo untuk menghindarkan gejala yang ditimbulkan dari overdosis medsos.
Influencer Punya Peran
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 bahkan mengumpulkan dua puluhan influencer atau pemengaruh untuk membahas soal langkah penanganan Covid-19 di Indonesia pada Jumat, 20 Maret 2020 lalu. Para Influencer ini dilibatkan agar informasi mengenai pencegahan dan penanganan Covid-19 bisa sampai ke tingkat keluarga maupun individu.
Para influencer yang diundang diminta untuk mengkampanyekan budaya hidup bersih dan hidup sehat, serta menerapkan social distancing dengan tetap di rumah saja (#dirumahaja). Ada sekitar 20 nama yang diundang dalam kegiatan itu antara lain Rachel Venya, Taqy Malik, Reza Pahlevi, Indra Bekti, Aura Kasih, serta Influencer lainnya.
Kalaupun masyarakat sulit diajak untuk diet media sosial, para Influencer ini bisa ikut urun tangan memproduksi konten-konten positif di media sosial sebagai upaya entertain. Supaya masyarakat maya (netizen) tidak stres terus-terusan ditakut-takuti (fear appeal) dengan konten negatif. Seolah dunia ini akan berakhir esok hari karena Covid-19.
Tetap stay positif! Work from Home (WFH) seharusnya dimanfaatkan untuk kembali merekatkan ikatan emosional dengan orang-orang terdekat. Kesampingkan sejenak segala tekanan kerja dan rongrongan deadline. Selain tetap social distancing, tentunya social media distancing juga penting. Semoga bencana ini segera berakhir.
*Penulis adalah Pegiat Renaissance Political Research and Studies (RePORT) Institute
IG: @adecsutrisna
Discussion about this post