Tulisan ini berisi tentang pengalaman saya bertemu orang-orang yang selalu berekspektasi tinggi ketika melihat mahasiswa Kesejahteraan Sosial. Termasuk di antaranya adalah orang tua saya yang membayangkan ketika lulus pasti langsung sejahtera.
Bahkan ada juga yang meledek mahasiswa Kesos sebagai umat minoritas di tengah kampus yang filantropis banget. Asli, ingin kupatahkan leher orang-orang yang meledek itu.
Namun tak pernah saya lakukan sebab diri ini baik hati dan tidak sombong tidak punya keahlian bela diri. Kalau memaksakan kehendak malah leher saya yang patah.
Selama menempuh kuliah di jurusan Kesejahteraan Sosial, saya belajar tentang bagaimana meningkatkan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat secara berkelanjutan.
Jadi, inti dari jurusan Kesejahteraan Sosial ialah senantiasa berupaya mengembalikan fungsi sosial seseorang di masyarakat, orang tersebut dinamakan sebagai pekerja sosial.
Termasuk saya yang sedang berupaya menjadi pekerja sosial (amin paling serius). Dimulai dari hal kecil, seperti menghubungi dosen pembimbing walau pada akhirnya di read doang. Hehehe~
Tapi, bisa dikatakan pengetahuan saya perihal jurusan Kesejahteraan Sosial masih jongkok. Jangan mikir ini salah dosen, ketua jurusan, atau kurikulumnya. Murni ini kesalahan saya, titik.
Kembali lagi ke pembahasan stereoripe di dunia kampus. Kalau dipikir-pikir semua jurusan selalu disalah kaprahi yang pada ujungnya berdampak langsung kepada mahasiswa.
Persis seperti yang dikatakan oleh Presiden Jancukers, Sujiwo Tejo, yang kurang lebih poinnya begini: “orang romantis dipahami lagi galau, berupaya mendetail dibilang rempong, berpendapat diartikan curhat, mencoba peduli dikatain kepo”
Pola ini berkeliaran juga di dunia kampus sehingga makna jurusan diartikan semau jidatnya. Lama-lama saya kepikiran kapan ya, orang yang seperti itu di-smash jidatnya pakai raket nyamuk. Syarafnya yang udah konslet itu biar sekalian padam selamanya.
Hampir semua jurusan punya sterotipe masing-masing. Jurusan Radiologi dibilang entar kalau lulus jadi penyiar radio, jurusan Peternakan dibilang jadi pengusaha lalapan, jurusan Hubungan Internasional dibilang gerombolan mahasiswa kalau ngalakuin kesalahan banyak diplomatisnya. Termasuk jurusan Kesejahteraan Sosial yang memiliki aneka ragam streotipenya.
Mahasiswanya Suka Gado-Gado
Awal cerita, dimulai dari orang yang nggak tau menau soal jurusan kesejahteraan sosial. Di tengah asyik menikmati enaknya gado-gado, tiba-tiba teman saya bertanya pada teman disampingnya. “Tau nggak, kenapa dia (menunjuk saya) suka gado-gado?”
“Karena jurusannya suka mencomot disiplin ilmu lain. Seperti Ilmu Agama, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Ekonomi, Ilmu Manajemen, Ilmu Kesehatan, Ilmu Lingkungan. Sama kayak yang lagi dia makan. HAHAHAHA~”
Kata “mencomot” membuat saya tidak sepakat. Sebab kata “mencomot” konotasinya lebih ke hal-hal yang buruk atau kotor. Dengan keyakinan batin, kata “mencomot” yang keluar dari mulut teman saya bertujuan untuk menuduh jurusan saya mencuri displin ilmu lain.
Lagian, kata “mencomot” juga tidak menunjukkan ciri khas gado-gado. Gado-gado tidak asal comot berbagai macam sayuran lalu digabung begitu saja, namun ada proses meramu dan memadukan sayuran yang pas untuk di satukan dalam gado-gado. Begitu juga jurusan Kesejahteraan Sosial, ada proses meramu displin ilmu lain dalam rangka membuat displin ilmu yang utuh.
Mahasiswa yang Sok-sokan
Tidak hanya di tuduh sebagai jurusan yang comot, mahasiswa juga sering di ejek dengan mahasiswa yang sok-sokan, pernah di warung kopi ada yang nyeletuk lebih tepatnya dimanapun tempatnya bakal selalu nyeletuk ketika mendengar jurusan kesejahteraan sosial.
Celetukannya pasti begini “kamu aja belum sejahtera sok-sokan mau mensejahterakan orang”. Lebih kesalnya lagi sambil nyeletuk ditambahi dengan senyum tipis-tipis yang kumisnya juga ikut bergoyang.
Semakin resah ketika setiap gerak-gerik selalu membawa label sejahtera. Mau minta rokok sebatang saja, dibilang masa mahasiswa kesos ngerokok saja minta.
Alhasil, endingnya kembali nyeletuk, makaya jangan sok-sokan mensejahterakan orang, mensejahterakan diri aja belum mampu. Nihhhh, jadinya asap yang keluar dari rokok tersebut menjadi asap amarah.
Mahasiswanya Wajib Ain Sejahtera dan Memiliki Jiwa Filantropi
Banyak orang mikir kalau masuk jurusan Kesejahteraan Sosial keluarannya bakal sejahtera dan memiliki sifat filantropi, nggak ada jaminan keles. Kembali lagi ke individu masing-masing mau berusaha, belajar, berpraktek, apa nggak. Simpelnya seperti itu.
Jadi, meskipun dia mendapatkan materi mengenai fungsi sosial seseorang di masyarakat, tidak menutup kemungkinan yang nggak berfungsi malah mahasiswanya.
Meskipun belajar tentang konsep filantropi yakni cinta kasih atau solidaritas akan masyarakat yang lemah, tidak menutup kemungkinan mahasiswanya memiliki sifat apatis yang terstruktur.
Mahasiswa Pemberi Bantuan
Ada yang mempertayakan kepada saya, kenapa kok kelas saya tidak melakukan penggalangan dana? karena dia menganggap jurusan kesejahteraan sosial identik dengan pemberi bantuan dikala bencana melanda.
Saya membenarkan ketika ada bencana memberi bantuan adalah suatu hal yang harus dilakukan. Dan tidak saya benarkan kalau jurusan Kesejahteraan Sosial dalam mengatasi masalah sosial hanya memberi bantuan saja.
Kembali ketujuan bahwa jurusan Kesejahteraan Sosial berupaya mengembalikan keberfungsian sosial di masyarakat. Cinta kasih sosialnya lebih kepada memberdayakan orang agar bisa mandiri dalam mengatasi masalahnya.
Sebenarnya, memberi bantuan kepada yang dilanda bencana kewajiban semua unsur. itupun kalau sadar, yang nggak sadar? Ya oppo maneh.
Itulah beberapa stereotip yang menempel pada mahasiswa jurusan Kesejahteraan Sosial. Wabil khusus yang saya alami secara langsung, dan barangkali dialami juga masyarakat kesos lainnya.