Abad 20 adalah awal perlawanan gerakan pers Indonesia terhadap kolonial Belanda. Pengaruh penemuan mesin cetak modern telah memperluas cakrawala pikiran dan metode perjuangan para pejuang kemerdekaan.
Setelah Medan Prijaji didirikan pada 1 Januari 1907 oleh Tirto Adhi Soerjo, dan gagasan Nasionalisme mulai berkembang, orgaan (surat kabar) menjadi saluran yang kian populer digunakan untuk mempropagandakan perlawanan.
Hampir semua organisasi pergerakan memiliki surat kabarnya masing-masing. Termasuk Muhammadiyah. Pentolan gerakan Islam modernis ini, mewarnai sejarah panjang pers Indonesia melalui Suara Muhammadiyah (SM).
Dengan latar belakang modernisme Ahmad Dahlan, tentu mudah diterka bahwa SM adalah kelanjutan inspirasi dari jurnal Al-‘Urwah Al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad ‘Abduh, dan majalah Al-Manar oleh Muhammad ‘Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Juga pengaruh luwesnya pergaulan Ahmad Dahlan dengan kalangan pemerintah kolonial dan pergerakan pribumi. Terutama saat bersama Haji Fachrodin, yang juga murid Mas Marco Kartodikromo, dan beberapa anggota Muhammadiyah lainnya tergabung dalam Medan Moeslimin (MM), yang didirikan oleh Haji Misbach pada 1915 di bawah naungan Sidik Amanah Tableg Vathonah (SATV).
Kala itu Haji Merah asal Kauman Solo ini masih menjadi simpatisan Muhammadiyah. Nor Hiqmah dalam H.M. Misbach: Kisah Haji Merah (2008) mencatat bahwa Ahmad Dahlan adalah kontributor tetap MM untuk wilayah Yogyakarta, dengan nama pena ‘Ketib Amin Djokja’
Nama ini menunjukkan jabatan fungsional Ahmad Dahlan dalam struktur kepenghuluan Majid Agung Kraton Yogyakarta. Dan lantas di tahun itu juga SM terbit untuk pertama kali.
Soeara Moehammadijah
Belum ada dokumen atau arsip yang menunjukkan secara jelas mengenai kiprah SM di masa awal perintisan. Karena buruknya pengarsipan, Muhammadiyah sendiri kerap kebingungan untuk menjelaskan hal ini.
Hingga sekian lama, karena dokumen tertua yang ada adalah edisi tahun 1921, Muhammadiyah meyakini SM didirikan di tahun itu. Hal ini dapat dicermati salah satunya melalui biografi pendek Haji Fachrodin dalam 100 Tokoh Muhammadiyah yang Menginspirasi (2014) terbitan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP. Muhammadiyah.
Baru pada 2019 dilakukan koreksi melalui Sejarah Seabad Suara Muhammadiyah Jilid I (1915-1963). Buku ini menjelaskan Kuntowijoyo dalam salah satu kunjungan ke Belanda pada 1990-an menemukan arsip majalah Soeara Moehammadijah edisi No. 2 Tahun 1915 di perpustakaan Leiden.
Temuan itu kemudian menguatkan keyakinan bahwa SM telah lahir sejak 1915. Usianya saat ini berarti lebih seabad, 3 tahun lebih muda dari Muhammadiyah atau jauh lebih tua 30 tahun dari proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Edisi temuan itu berbahasa Jawa. Alih-alih menggunakan Arab pegon yang umum dipakai umat Islam kala itu. Tercantum juga nama Haji Fachrodin sebagai hoofdredacteur (pemimpin redaksi) dan jajaran redacteuren (dewan redaksi) yang terdiri dari Ahmad Dahlan, Haji Hisyam, R.H. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosoegito dan R.H. Hadjid sebagai redaktur. Serta H.M. Ma’roef dan Achsan B. Wadana sebagai pengelola administrasi.
Terlihat di dalamnya nama percetakan Seri Pakoealaman, juga kolom tanya jawab agama, tarich Islam dan beberapa advertensi batik dari pedagang Muhammadiyah. Salah satu artikel bersambung berjudul Agama Islam di dalamnya ditulis Ahmad Dahlan dengan nama pena ‘H.A.D’.
Sebuah slogan juga terpampang di muka majalah berukuran 13×20 cm dan bertebal 22 halaman ini. “Orgaan ini memoeat keterangan tentang agama Islam. Diterbitkan seboelan sekali berbetoelan dengan tanggal 1 boelan Belanda dan memoeat keterangan lain-lainnja jang perloe”
Yang paling pasti sejak semula SM lebih diperuntukkan bagi internal warga Muhammadiyah. Media komunitas ini lahir di tengah menggeliatnya pengaruh Islam modernis di awal abad 20. Maka ia pun berfungsi mempropagandakan kepentingan Muhammadiyah, untuk memerdekakan umat Islam dan bangsa Indonesia dengan nilai tajdid dan purifikasi Islam.
Lebih-lebih, SM berguna memperluas jangkauan pengaruh Muhammadiyah di kalangan muslim perkotaan dari kelas menengah terdidik, yang umumnya menjadi penggerak dan simpatisan Muhammadiyah.
Karena itu juga SM di awal kelahirannya terbit dengan durasi yang belum rutin dan kadang sebulan sekali. Ia dicetak dalam oplah yang tidak begitu besar, dan belum dikelola dengan manajemen profesional. Ia disebarkan di pulau Jawa, utamanya di daerah yang memiliki cabang Muhammadiyah.
Warga Muhammadiyah dapat membacanya secara gratis. Sedangkan biaya operasional bersandar pada infaq dari para pedagang batik dan simpatisan Muhammadiyah. Donasi berkisar antara 0,50 hingga 50 Gulden Belanda.
Pasang surutpun tak ketinggalan mewarnai. Pada kurun 1917-1919 SM vakum. Lebih sibuknya Haji Fachrodin mengurus MM dan Islam Bergerak (IB) bersama Haji Misbach, juga kekurangan sumber daya penggerak yang mumpuni dari Muhammadiyah sendiri sebagai faktor utamanya.
SM kembali bangkit setelah A.D. Hanie ditunjuk menggantikan posisi Haji Fachrodin pada 1919. Ditunjuk juga Siti Bariyah, ketua umum pertama Aisyiyah, untuk memimpin perusahaan. Perubahan pengelolaan secara perusahaan dipilih untuk menunjang segi finansial.
Dalam catatan Sejarah Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 (2007) biaya berlangganan setahun sebesar 0,75 Gulden. Sedangkan biaya advertensi di satu halaman sebesar 6 Gulden. Setengah halaman 3,50 Gulden dan seperempat halaman 2 Gulden. Iklanpun jadi lebih banyak. Tak hanya batik, tetapi juga gelang emas, tambur dan buku alamat.
Dengan intensitas yang tinggi dan pelibatan banyak kader muda, SM berhasil menerbitkan oplah sebesar 5.000 eksemplar pada tahun 1921, melampaui jumlah normal kala itu, yakni 1.000 eksemplar.
Sejak 1920 SM berada di bawah naungan Bagian Taman Pustaka – sekarang menjadi MPI – Muhammadiyah. Dan pada 1922 tampuk pemimpin redaksi kembali ke Haji Fachrodin.
Edaran di perluas untuk menjangkau seluruh penjuru nusantara, dan terbit dengan dwi-bahasa Jawa dan Melayu, sebagai dukungan terhadap emansipasi sosial-politik pribumi melawan Belanda. Ia bertindak lebih radikal dengan secara total menerbitkan dalam bahasa Indonesia pada 1923.
Majalah tertua di Indonesia ini kembali menemui jalan terjal pada kurun 1940-1943. Akibat ongkos produksi yang kian meninggi, ia diterbitkan 6 bulan sekali. Dan bahkan sempat vakum kembali saat masa kolonial Jepang.

Melintang Secara Mondial
Drs. Djoko Susilo dalam Muhammadiyah Kini dan Esok (1990) menguraikan beberapa kelemahan mencolok dalam pasang-surut SM hingga tahun 1990. Pertama, berkurangnya dukungan dari kalangan elite, profesional dan intelektual Muhammadiyah. Kedua, rendahnya loyalitas, kualitas dan kekompakan dari banyak anggota dewan redaksi. Dan ketiga, kurangnya kreativitas dalam menyelami industri media.
Sampai tahun itu, banyak di antara kalangan di atas justru lebih giat berkiprah di luar media Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi. Baik karena jangkauan yang lebih luas atau profit ekonomi yang lebih besar.
Dampaknya kualitas rubrik dan tulisan SM kurang menarik, bahkan bagi warga Muhammadiyah sendiri. Terpaan tentu kencang dengan status Muhammadiyah sebagai persyarikatan sosial keummatan, tetapi minim kreativitas dan jangkauan ekonomi dalam mengelola surat kabarnya.
Tetapi lagi-lagi, SM menunjukkan bahwa kultur cetak dan literasi Muhammadiyah tak pernah mati. Pada 1951 di bawah kepemimpinan redaksi M. Yunus Anis, ia justru terbit mingguan, di kala situasi surat kabar tanah air diterpa krisis bahan baku.
Baru pada 1965 dilakukan reorganisasi dan reorientasi. Di bawah kepemimpinan redaksi Faried Ma’roef yang sekaligus merangkap pemimpin umum pertama, keseriusan tampak pada perbaikan kualitas dan kuantitas dewan redaksi, penerbitan, konten, dan slogan baru “Wajah dan Gaya Baru’.
SM menjadi lebih inklusif dan mondial. Ukuran majalah diperbesar dan halaman dipertebal. Juga konsisten untuk lebih mempropagandakan persatuan rakyat dan umat Islam Indonesia, dukungan yang lebih kritis terhadap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah maupun khalayak luas, dan ruang yang lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu dan teknologi modern. Perbaikan yang betul-betul melejitkan kiprah.
Yang paling mengundang atensi, barangkali, edisi No. 12 Tahun 1969. Saat itu, majalah yang dianugerahi Majalah Islam yang Terbit Berkesinambungan Terlama oleh Museum Rekor Indonesia (MURI) pada 2016 ini, turut mengabadikan pendaratan Neil A. Armstrong dan Edwin E. Aldrin di bulan dengan pesawat Apollo 11.
Edisi itu adalah laporan moon landing yang terpanjang di antara surat kabar lainnya di tanah air. Angka dan ilustrasi banyak dipaparkan guna mengulas pendaratan modul lunar Eagle, serta pengalaman para astronot melawan gravitasi bumi, beristirahat dan berkomunikasi dengan para petugas di bumi.
Tak ketinggalan gambar astronot, permukaan bulan, dan perbandingan tinggi antara roket Saturnus V (110 m) dengan tugu Monas.
Yang memukau juga upaya SM dalam mengembangkan imajinasi pembaca melalui ulasan De la Terre a la Lune (1865), Novel Jules Verne, yang telah membayangkan kedatangan manusia ke bulan sejak seabad sebelumnya.
Sedangkan Arifin C. Noer, Sapardi Djoko Darmono, Taufiq Ismail hingga Rachmat Djoko Pradopo adalah deretan nama penyair yang di awal kiprahnya pernah mengisi kolom sastra.
Hingga kini, Di bawah naungan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) PT. Syarikat Cahaya Media (SCM), Juga pemimpin umum Ahmad Syafii Maarif dan pemimpin redaksi Haedar Nashir, SM semakin memperbaharui diri.
Selain dicetak dwi-mingguan, ia juga hadir dengan versi digital. Tak hanya dalam bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Inggris. Dibentuk Pusat Data dan Penelitian-Pengembangan (PUSDA LITBANG) untuk mulai memperbaiki pengarsipan, juga mengembangkan dan melengkapi unit usaha lainnya macam penerbitan, toko buku dan batik, konveksi dan kafe.
Berkat kiprah yg bertiwikrama, SM kembali dianugerahi pengakuan prestisius. Pada 2017 Serikat Perusahaan Pers (SPS) mendapuknya sebagai Salah Satu Majalah Tertua di Indonesia. Dan terbaru oleh panitia Hari Pers Nasional (HPN) 2018, sebagai Media Dakwah Perjuangan Kemerdekaan RI dalam Bahasa Indonesia.
Pengahargaan yang tak berlebihan, jika melihat surat kabar yang sezaman macam MM, IB, Sin Po, Bintang Mataram, Srie Diponegoro, Almanak Buning, Ratnadoemilah dan lainnya telah tutup usia. Maka wajib dikata, tak lengkap mengkaji sejarah pers Indonesia, utamanya umat Islam Indonesia, tanpa menyinggung SM.
Usia yang lebih seabad ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa kultur percetakan dan literasi Muhammadiyah memang tak lapuk di makan usia. Sebagaimana tersirat pada lambang matahari Muhammadiyah yang terus cerah bercahaya, tanpa terganggu awan gelap, apalagi petir.
Discussion about this post