Oleh: Ade Chandra Sutrisna*
Siapa tak tahu, karakter Muhammadiyah itu tidak banyak bicara tapi banyak berbuat. Menghindar dari hingar bingar sorot kamera dan rekam tinta. Ikhlas lilahita’ala, katanya. Hanya saja di era yang serba ‘posting’ ini, dimana penetrasi media telah masuk ke semua kalangan masyarakat, publikasi menjadi kerja yang tak boleh dianggap sepele. Saya kira semua pihak sudah menyadari hal ini.
Hanya saja, keseriusan Muhammadiyah untuk tampil ke gelanggang wacana sebagai opinion leader (memimpin wacana) patutnya kita evaluasi bersama. Sebagai organisasi kemasyarakatan tertua yang dimiliki bangsa ini (bahkan lahir sebelum Indonesia merdeka), Muhammadiyah seharusnya memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mampu memimpin arus wacana. Nyatanya tidak begitu.
Kasarnya, Muhammadiyah terlampau lamban menimbang isu-isu yang harus disikapi, yang pada akhirnya kadung liar di tengah masyarakat dan netizen. Masyarakat, terlebih warga Persyarikatan, akhirnya berkiblat pada media abal-abal yang biasa menebar hoax. Padahal, Muhammadiyah punya banyak tangan-tangan di akar rumput yang sayang kalau potensinya tidak dioptimalkan.
Potensi Media Komunitas
Mengunggah pernyataan sikap ke laman resmi, membuat press rilis, hingga membuat press converence pastinya jadi ritual harian. Tapi itu terlalu normatif. Seperti evaluasi sebelumnya, pesan dari Muhammadiyah butuh di-treatment dengan strategi yang lebih membumi. Menggerakkan media komunitas yang dihidupkan oleh kader Persyarikatan di akar rumput bisa jadi pilihan.
Di Malang saja misalnya, ada Pucukmera.id yang dikelola sejumlah kader-kader IMM di perguruan tinggi negeri (UB dan UM), ada LintasBatas.co yang dikelola kader IMM Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), ada Modernis.co yang dikelola IMM Fakultas Agama Islam UMM, masih banyak lagi yang lainnya. DPP IMM sendiri misalnya punya Redline.id.
Mereka bekerja tak main-main. Nampak keseriusan di sana. Semua konten di-treatment /digarap secara serius. Disunting dengan bahasa yang layak. Diolah dengan sentuhan membumi. Ada infografis, ada ilustrasi, podcast, youtube, dan ragam lainnya. Meskipun tidak menguntungkan secara finansial, mereka mengaku menemukan kepuasan tersendiri karyanya bisa diapresiasi oleh khalayak.
Meski banyak yang perlu ditembel, setidaknya komitmen mereka untuk menghidupi media yang mereka bangun bisa dipegang. Sudah layaknya anak kandung sendiri. Setiap harinya mereka tak pernah absen memproduksi konten. Baik yang diproduksi sendiri, maupun kiriman berupa tulisan sejawatnya yang tergolong penulis amatiran. Kemudahan akses inilah yang jadi banyak dilirik.
Sebuah pesan, tidak bisa disampaikan kepada banyak khalayak dengan kemasan yang sama. Sebuah pesan harus diterjemahkan lebih dulu, lantas ditentukan medium dan disesuikan gaya bahasanya. Keragaman segmentasi yang dimiliki media-media komunitas inilah yang akan dimanfaatkan. Satu pesan bisa diterjemahkan ke banyak ‘bahasa’. Sehingga pesan bisa lebih efektif.
Contoh Konkrit
Kita bisa belajar dari aksi yang diinisiasi kader IMMawati Malang Raya, Ghina Afifah yang baru-baru ini memprogandakan gerakan Aksi Nasional Tolak Omnibus Law. Penggerak Media dan Komunikasi IMM Malang Raya ini menggunakan sejumlah platform digital untuk melancarkan propagandanya. Ghina mengawali aksinya dengan membuat frame di media promosi dukungan Twibbon.
Aksinya menjadi viral. Setidaknya di kalangan kader Ikatan sendiri. Tapi jangan dianggap remeh, gerakan yang juga mengajak menyemarakkan unggahan media sosial menggunakan tanda pagar #TolakOmibusLaw, #ShameOnDPR dan #DemokrasiDipersekusi ini berhasil menghiasi sejumlah lini masa dalam jaringan (daring) seperti Twitter, WhatsApp utamanya Instagram. Coba Ditelusuri!
Tak berhenti sampai di situ, Ghina juga mengkonsolidasikan gerakan media-media komunitas yang dikelola kader-kader Persyarikatan di Malang sebagai upaya pengarusutamaan isu. Sebutlah di media yang saya kelola dan kembangkan MediaMahasiswa.com. Melalui rilis berita yang dibuat Ghina bersama timnya, bisa menjangkau pembaca hingga ribuan orang. Belum lagi yang di-share.
Kisah bagaimana Ghina mengkonsolidasikan jaringan media patutnya dijadikan percontohan. Sebenarnya Muhammadiyah punya cukup sumber daya di akar rumput untuk menciptakan gelombang. Aksi yang baru sebatas jaringan kultural ini selayaknya bisa rapihkan. Setidaknya membuat forum komunikasi media Persyarikatan untuk menyepakati isu bersama yang musti segera disikapi.
IBTimes.id yang digawangi influencer Milenial Muhammadiyah Azzaki Khoirudin dan media komunitas Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur PWMU.co juga jadi contoh konkrit, bagaimana Muhammadiyah demikian serius mengelola media secara profesional. Ritme unggahannya tidak kalah dengan media arus utama. Punya tingkat keterbacaan tinggi dan punya potensi viral. Tapi, sayang…
Sayangnya, jangkauan khalayaknya hanya berhenti sebatas di kalangan warga Persyarikatan sendiri. Tidak sampai menjangkau khalayak yang lebih luas lagi. Bahasa kerennya, terperangkap di jebakan Eco Chamber yakni sebuah keadaan dimana keyakinan diyakini atau disebarkan oleh komunitas dan diulang-ulang dalam sebuah sistem tertutup. Viral, tapi sebatas bergerak berputar-putar.
Mulai Bergerak
Pusat Syiar Digital PP Muhammadiyah nampaknya belum bekerja maksimal. Padahal, obrolan saya dengan kawan-kawan media komunitas yang berangkat dari kader Persyarikatan mengaku siap, jika ‘diperintah’ untuk mendiseminasikan maklumat, pernyataan sikap, atau ijtihad baru yang dikeluarkan Muhammadiyah. Tentu pesannya akan disesuaikan dengan jenis khalayak media masing-masing.
Muhammadiyah, dalam hal ini Pimpinan Pusat, tidak bisa bekerja sendiri. Perlu kerahkan buzzer untuk bisa mewacanakan suatu isu jadi topik pembicaraan mainstream di tengah khalayak. Melalui tangan-tangan dingin kader-kader Muhammadiyah dimana pun yang memiliki media ini, setidaknya agenda setting Muhammadiyah bisa tersiar ke khalayak yang lebih luas dan banyak lagi.
Sekali lagi, ini agenda mendesak. Tidak hanya sebagai upaya penyikapan isu-isu yang sedang hangat. Terlebih, untuk memenuhi salah satu Komitmen Generasi Milenial Muhammadiyah untuk Masa Depan dalam gelaran Kolokium Nasional Interdisipliner di UMM Maret lalu yakni, “Bergerak dan berkampanye kreatif pada generasi milenial mengenai Islam yang menyenangkan, riang dan gembira”.
*Penulis adalah Pegiat Renaissance Political Research and Studies (RePORT) Institute.
IG/Twitter: @adecsutrisna/@AdeCSutrisna
Discussion about this post