Ketika mendengar kata tato dan tindik, mungkin yang muncul di benak masyarakat adalah sifat yang buruk. Seperti preman, berandalan, tak punya etika, urakan dan sebutan negatif lainnya. Padahal sejatinya, tato dan tindik tak bisa menjadi tolak ukur sifat seseorang.
Stigma negatif tersebut memang sudah menjadi kultur turun temurun. Terutama sejak kepemimpinan era orde baru, di mana orang yang bertato, selalu dianggap sebagai preman atau berandalan, sehingga menjadi sasaran empuk Penembak Misterius atau Petrus.
Mereka berdalih dengan hilangnya preman di masyarakat, maka kekerasan dan kejahatan bisa dibendung. Namun, nyatanya justru dengan hilangnya preman, mereka semakin leluasa untuk melakukan kejahatan dan kekerasan atas nama pemerintah. Disadari atau tidak, preman tidak akan pernah hilang. Hanya saja berevolusi menjadi model preman yang baru seperti preman berdasi.
Dan harus kita akui bersama, bahwa orang yang bertato belum tentu preman. Runtuhnya rezim orde baru yang berhasil membuka kran kebebasan, menjadi titik terang untuk menyalurkan berbagai kreatifitas tanpa adanya pagar yang membatasi. Termasuk kreatifitas untuk menggambar dengan media badan.
Ketika dulu orang bertato dari bagian dalam tubuh sampai luar, sekarang orang bertato mulai dari luar menuju tubuh bagian dalam. Orang tak malu lagi untuk memiliki tato dilengan dan dileher sehingga bisa menjadi galeri berjalan yang bisa dinikmati semua orang.
Nasib tato tak jauh berbeda dengan tindik, menjadi semacam tanda pengenal bahwa mereka bukanlah orang baik-baik. Padahal sejatinya, bertato dan bertindik adalah kebebasan setiap orang dan tentunya harus menerima segala konsekuensinya.
Termasuk konsekuensi dalam dunia kerja. Saya menyadari hal tersebut ketika mengantarkan kawan saya untuk memanjakan jarum tato di lengannya. Sebelum artis tato tersebut merajah jarumnya, ia meyakinkan bahwa pelanggannya tersebut siap menerima konsekuensi memiliki tato permanen.
Bagaimana respon keluarga, reaksi masyarakat, dan tuntutan dunia kerja, apakah ia siap dengan semua itu. Jika siap, maka artis tato tersebut mulai bekerja sesuai dengan request gambar pelanggan.
Hanya saja tindik masih lebih beruntung daripada tato. Karena tindik masih bisa dilepas-pasang. Namun, beberapa perusahaan dan instansi sangat teliti dalam rekrutmen calon karyawannya, sehingga telinga kadangkala diberi sinar senter agar bisa terlihat, telinga anda berlubang atau tidak.
Memang dalam berbagai jenis pekerjaan, tidak ada keterangan yang spesifik mengenai aturan tato dan tindik. Tapi hal ini kadangkala menjadi sebuah aturan tak tertulis, menjadi norma yang berlaku di lingkungan tersebut, Sehingga tato dan tindik menjadi sebuah hal tabu.
Saya pribadi memang memakai tindik, dan bukan sebagai ajang gaya-gayaan. Sebagai penganut aliran punk, saya merasa ada idealisme yang harus dijaga. Tindik menjadi simbol perlawanan terhadap tatanan nilai sosial yang ada. Sekaligus menjadi simbol membebaskan diri dari semua tata dan norma yang membelenggu.
Hal ini bukan berarti melawan peraturan yang sah, hanya saja tidak semua hal pribadi perlu diatur. Ada kalanya kita sebagai manusia memiliki kuasa atas tubuh yang kita miliki. Toh bertato dan bertindik juga tidak merugikan orang lain.
Akhir kata, mari ubah persepsi kita terkait tato dan tindik, sehingga kita bisa tetap bergotong-royong tanpa memandang cara berpenampilan orang lain. Di umur bangsa yang ke 75 ini, sudah tidak keren lagi ketika kita terpecah belah hanya perkara gaya berpenampilan. Merdeka!
________________________
Discussion about this post