Oleh: Zelahenfi*
Ramai diperbincangkan beberapa hari terakhir, Sosiolog dan juga aktivis 98 ditersangkakan atas orasi yang ia sampaikan dalam gelaran rutin aksi damai kamisan. Wajah demokrasi kembali tercoreng atas upaya kriminalisasi tersebut, bagaimana tidak jika setiap pendapat, baik secara private maupun publik harus dihantui dengan urusan hukum. Lagi-lagi upaya mengkrimanalisasikan tersebut dengan dalih UU ITE dan ujaran kebencian. Sebuah pasal yang dianggap paradoks demokrasi.
Bukankah elemen penting demokrasi ialah menguatnya supremasi sipil dalam hal ini mewujud dalam penyampaian pendapat, berserikat, berorganisasi dan berekspresi. Senada dengan pendapat Robert Dahl bahwa iklim demokrasi menuntut adanya syarat bagi kebebasan hak-hak sipil. Bukankah terlalu berlebihan jika negara atau pihak terkait melakukan “kriminalisasi” atas seseorang yang dianggap menghina institusi tertentu – bahkan jika dalam hal ini institusi pemerintah sekalipun.
Tidak salah jika ada yang memahami demokrasi hanya sebatas pergantian kekuasaan – demokrasi formal dimana elit bersaing untuk memperoleh suara rakyat sebagai misal definisi yang diberikan Joseph Schumpeter, tetapi secara substansial demokrasi hendaknya diwujudkan secara masif, sejalan dengan pemikiran Linz bahwa demokrasi politik adanya kesetaraan peluang di setiap aspek kehidupan. Apa yang terjadi baru-baru ini berbanding terbalik dengan apa yang diutarakan oleh Robert Dahl; jika suatu negara memenuhi standar-standar demokrasi elektoral (pemilu yang bebas, adil dan multi partai dengan sistem pemungutan suara (yang rahasia dan universal) semakin tinggi pula tingkat pengakuan hak asasi manusianya.[2]
Bahwa konsekuensi demokrasi elektoral Dahl tersebut tidak secara serta merta menjamin adanya kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dalam hal ini menghargai hak asasi manusia. Jika kita melihat bahwa demokrasi bukan sesuatu yang final, terberi dan diterima secara taken for granted maka akan kita dapati bahwa ia merupakan sesuatu yang harus diperjuangkan. Dengan demikian kita akan sejalan dengan pemikiran Robert Dahl dan Larry Diamond, salah satu syarat dan hal yang mendasar bagi terciptanya iklim demokrasi yang sehat ialah adanya jaminan untuk bebas berfikir, berekspresi dan bebas dari tekanan yang inheren dengan hak politik serta terselenggaranya pemilihan secara bebas dan adil.[3] Bahwa demokrasi yang terkonsolidasi terciptanya iklim akuntabilitas pejabat pemerintah dan reformasi institusi-institusi untuk secara terbuka bagi ruang kritik dan perbaikan sektor pelayanan publik.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia masih jauh dikatakan matang, bahkan sejak 21 tahun pasca reformasi dilema demokrasi masih mejadi persoalan yang tak kunjung usai setidaknya dalam ranah prakek. Kematangan demokrasi hanya mampu dicapai ketika ruang-ruang dialog, keterbukaan berpikir dan kesetaraan dalam bernegara tidak lagi menjadi komoditas terbuka dalam kehidupan publik. Sejalan dengan hal tersebut tentu dibutuhkan partisipasi masyarakat sipil yang terus bergerak secara dinamis dan memberikan kontrol atas kehidupan publik. Jika bentuk kontrol tersebut – menyampaikan pendapat, berekspresi masih menyisakan sebuah bayang-bayang kriminalisasi maka tidak mungkin tercapai kehangatan dalam berdemokrasi dan sudah seharusnya masyarakat sipil kembali turun ke jalan dan membangun peradaban yang lebih baik bagi demokrasi dan bagi kemanusiaan.
*Zelahenfi – Pegiat Literasi dan Pendiri Semut Alas
[2] Dalam Larry Diamond. Developing Democracy; toward consolidation. Yogyakarta. IREpress. Hlm. 5
[3] Ibid. Hlm. 1-4
Discussion about this post