Sebagai mahasiswa, saya menikmati betul nongkrong di warung kopi. Definisi warung kopi agak-agaknya tergambarkan dalam opening-nya Putri Tanjung di acara Ngobrol Sore Semaunya (NNS), yakni sebuah tempat untuk ngobrol semaunya, menyajikan obrolan tak terduga dan dibawakan semaunya.
Di warung kopi, kata taek, anjing, babi, juanncok, dimaknai sebagai perekat tali persahabatan. Di warung kopi pula semua perbedaan dibungkus dengan toleransi, sehingga perdebatan berakhir dengan happy ending. Berdebat Tuhan ada atau tidak, bumi datar atau bulat, tidak menimbulkan emosi yang membara melainkan gelak tawa.
Suatu hari di saat lagi khusyuk-nya saya berkontemplasi di atas kasur, tiba-tiba Jin Ifrit datang menghampiri, rupa-rupanya dia penasaran dengan apa yang lagi saya renungkan.
Dengan tutur bahasa yang sopan, saya memberi tahu sedang menguraikan keresahan seputar sistem perkuliahan daring yang makin kesini mulai membosankan. Jin Ifrit menyarankan kenapa itu nggak dighibahkan berjamaah dengan kawan sejawat.
Dipikir-pikir menarik juga dighibahkan berjamaah. Sontak saya mengabari circle saya yakni geng batman alias orang-orang yang bangunnya di atas jam 10 pagi. “Sabtu malam nanti kita nongki, yuk guys!”. Semua membalas okay dengan stiker Kwon Yuli, bocah stiker favorit pengguna WhatsApp.
Sesampainya di warung kopi, teman saya yang paling garang membuka obrolan, katanya jiwa bandelnya mulai memudar semenjak perkuliahan memakai sistem daring, dirinya sudah kebelet kuliah tatap muka agar jiwa bandelnya terwadahi dengan baik. Sembari menyimak dengan hikmat saya teringat saran Jin Ifrit untuk mengghibahkan keresahan seputar perkuliahan.
Tentunya untuk mengawali perghibahan, saya melontarkan keresahan selama perkuliahan daring, terutama soal tugas. Kira-kira begini keresahan yang saya lontarkan.
“Sejauh ini, saya selalu ngeluh ketika diberi tugas. Ngeluh berubah jadi jengkel ketika tugas dibuat dengan menguras banyak energi, rela begadang, merogoh kocek lebih. Ending-nya tugas dikumpulkan. Eh, tugas nggak didiskusikan lebih lanjut.”
Jangan ditanya siapa yang memberi tugas, pasti tahulah siapa itu. Yups betul, dosen. Disini kita tidak menggeneralisir semua dosen hanya tahunya memberi tugas, masih banyak dosen yang berkualitas dan punya dedikasi yang tinggi dalam proses mendidik.
Setelah melontarkan keresahan, teman saya yang paling sering telat kuliah menimpali. Merepresentasikan dirinya dari kubu mahasiswa yang akan melakukan pembelaan.
Lalu saya berpikir kalau gitu harus ada yang merepresentasikan kubu dosen. Oke-oke, soal kubu dosen nanti dipikirkan, kita dengarkan dulu pernyataannya.
“Saya benar-benar pusing dengan metode pembelajaran dari dosen, sependek pemahaman saya bukannya tugas adalah cara untuk mengukur sejauh mana pemahaman kita, artinya terlebih dahulu materi kuliahlah yang harus dijelaskan. Kenapa tugas diberikan duluan.”
Teman saya yang duduk paling selatan, yang sering nggak masuk kuliah tanpa sebab yang jelas, menjustifikasi pernyataan sebelumnya.
“Kalau saya lebih melihat ketika dosen tidak menelaah, menguraikan, mengupas, tugas yang sudah dikumpulkan bukannya ada sifat apatis dari dosen. Apa mungkin apatisnya mahasiswa sekarang mencontoh dari apatisnya dosen terhadap mahasiswanya.”
Oke, di sini kubu mahasiswa sudah menyampaikan pendapatnya. Giliran pihak dosen yang menanggapi, sedikit kendala teknis pihak dosen tidak hadir ternyata.
Lahh, jelaslah tidak hadir wong yang ngopi hanya mahasiswa kok, dengan bangganya lagi menyebut dirinya geng batman. Lagian gimana sih ini, ini kan bukan forum group discussion (FGD) yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen.
Kira-kira seperti itu mungkin yang ada di benak pembaca. Begini pembelaan saya, dengan mengucapkan bhismillah terlebih dahulu berharap tuhan ikut membela saya dari amukan netijen.
Begini, bukan mahasiswa namanya kalau tidak berimajinasi, anggap saja lah simulasi atau apa gitu yang jelas menggambarkan perdebatan antara kubu dosen dan mahasiswa. Sampai disini sudah cukup jelas? mari kita lanjut.
Saya melontarkan pernyataan sebagai representasi pembelaan dari pihak dosen. Tentunya sedikit melibatkan imajinasi liar.
“Mahasiswa hanya bisa menuntut saja, tidak menjalankan kewajibannya dengan baik yakni tekun dalam studi, tertib dalam beribadah, mengamalkan ilmunya ke masyarakat. Mahasiswa sekarang, jarang baca buku, berita, journal. Terlalu sibuk main game, kalau nggak ngebucin. Bikin tugas modal copas, itu pun dari website yang kebenarannya tidak bisa dipertanggung jawabkan.”
Lalu teman saya yang paling garang, karena dirinya saban hari selalu marah, membantah pernyataan tersebut. Perlu diketahui teman saya yang satu ini merupakan pendiri geng batman, kalau di anime Naruto dia adalah sosok Madara Uchiha, lalu siapa sosok Hasirama Senju? Tentu bukan saya lah. Imajinasi rek! Jangat dihujat berjamaah.
“Gimana tekun dalam studi, dosen sendiri kadang tidak tekun dalam memberi materi kuliah. Lagian gimana bisa kita mengamalkan ilmu ke masyarakat, dosen sendiri dalam mengamalkan ilmunya setengah-setengah, buktinya itu tugas nggak dikasih tau kita salahnya dimana.”
Ditambahkannya lagi sedikit.
“Kenapa sulit sekali menyadarkan dosen kalau memberi tugas perkuliahan nggak semena-mena itu juga. Nggak kasian apa? perihatin sedikit dong.”
Setelah menyatakan pendapat, karena terlalu terbawa suasana mukanya masih garang bak ibarat macan sedang menerkam kijang. Dalam hati saya berkata, “Halahhh, di sini aja garang, kalau saja beneran ada dosen langsung, pasti bakal menciut.” Ibarat kata pepatah, macan di atas kertas.
Azan subuh berkumandang, geng batman menyudahi perghibahannya. Kami serentak menutup perghibahan dengan doa kafaratul majelis. Agar terampuninya dosa-dosa dari geng batman.
“Subhaanakallaahumma wa bihamdika, asyhadu al-laa ilaaha illaa anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik.”
_____________________
*Kontributor adalah Staf Tim Riset Lintas Batas
IG: @firsu14
Discussion about this post