Dunia dibuat ramai dengan hiruk pikuk pemberitaan akhir-akhir ini. Betapa tidak, ketika tahun 2022 masih memasuki bulan kedua, masyarakat internasional digegerkan dengan eskalasi konflik politik antara Ukraina dan Rusia. Konflik antara kedua negara sebenarnya bukanlah hal baru, seiring dengan relasi konfliktual Ukraina dan Rusia sejak berakhirnya Perang Dingin. Kedua pihak yang berkonflik tentu saja mempunyai perbedaan cara pandang dalam melihat sebab umum terjadinya konflik di antara mereka.
Pecahnya Uni Soviet pada Desember 1991 segera diikuti oleh berdirinya 15 negara baru yang terdiri dari Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Latvia, Lithuania, Moldova, Rusia, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan. Sebagai entitas yang telah mempunyai kedaulatan penuh, negara-negara eks Uni Soviet tentunya mempunyai pilihan sikap dalam menentukan orientasi politik luar negerinya. Tidak sedikit di antara mereka yang lebih condong untuk “mendekat” ke negara-negara Barat, baik melalui upaya bergabung dalam Uni Eropa (UE) maupun North Atlantic Treaty Organization (NATO). Salah satu dari negara eks pecahan Uni Soviet yang terlihat cukup bersemangat “mendekati” Barat ialah Ukraina. Sejak berpisah dari Uni Soviet, negara yang beribukota di Kiev tersebut dapat dikatakan cukup aktif menunjukkan minat agar dapat tergabung dalam UE. Sebagaimana terlihat dari berbagai perjanjian yang disepakati dan dijalankan baik oleh UE maupun Ukraina dari tahun 1990 hingga 2015.
Dari berbagai perjanjian-perjanjian yang ada, sedikitnya terdapat dua perjanjian penting yang secara signifikan mengarah pada proyeksi masuknya Ukraina untuk dapat menjadi anggota UE. Kedua perjanjian tersebut ialah the Partnership and Cooperation Agreement (PCA) dan Association Agreement (AA). PCA secara umum berisikan kesepakatan mengenai komitmen dan kesediaan UE untuk memberikan bantuan dana kepada Ukraina. Selain itu dalam perjanjian yang disepakati sejak tahun 1994 tersebut, terdapat ketentuan yang mengharuskan UE agar memberikan berbagai bantuan teknis kepada Ukraina. Adapun AA yang ditandatangani pada 2008, merupakan perjanjian yang di dalamnya mengatur tentang pembebasan biaya bea masuk barang dagang yang berasal dari negara-negara UE ke Ukraina. Keberadaan AA menjadi awal mula bagi Ukraina untuk mendapatkan akses masuk ke dalam zona perdagangan bebas UE. AA sendiri direncanakan akan diratifikasi oleh Ukraina lima tahun setelah penandatanganan.
Selain keberadaan AA, semakin dekatnya Ukraina terhadap Barat juga tampak dari diterimanya lamaran keanggotaan NATO yang diajukan oleh Ukraina dalam Bucharest Summit tahun 2008 yang diselenggarakan oleh NATO. Hingga awal dekade 2000-an, Ukraina berada di bawah pimpinan sosok yang pro-Barat terkait dengan politik luar negeri. Permasalahan mulai muncul ketika pada tahun 2010, Viktor Yuschenko yang berkuasa sejak 2005 digantikan oleh Viktor Yanukovich. Tidak seperti Yuschenko yang berupaya membawa Ukraina lebih dekat dengan UE, Yanukovich justru membawa Ukraina untuk “menjauh” dari UE dan “mendekat” ke Rusia. Hal ini tampak dari keputusan Yanukovich yang mengumumkan pembatalan AA pada akhir tahun 2013. Apa yang dilakukan oleh Yanukovich tersebut pada gilirannya berdampak pada munculnya berbagai protes dari masyarakat Ukraina, yang kemudian berujung pada lengsernya Yanukovich dari kursi Presiden Ukraina pada Februari 2014. Pasca jatuhnya Yanukovich, parlemen Ukraina menunjuk Petro Poroshenko sebagai Presiden baru Ukraina. Pada masa kepemimpinan Poroshenko, Ukraina kembali berupaya mendekat ke UE, sebagaimana terlibat dari disepakatinya kembali AA dan ratifikasi perjanjian tersebut pada September 2014 (Hanifah, 2017).
Lengsernya Yanukovich yang pro Rusia dan naiknya Poroshenko yang pro Barat, pada gilirannya membawa Ukraina ke dalam konflik internal yang masih berlangsung hingga hari ini. Konflik berawal dari ketidaksepakatan masyarakat Krimea atas lengsernya Yanukovich. Masyarakat Krimea yang diisi oleh mayoritas etnis Rusia kemudian mendorong pemerintah Ukraina untuk mengadakan referendum pada Maret 2014. Dalam referendum tersebut, 97% peserta memilih untuk mendukung Krimea untuk keluar dari Ukraina dan bergabung dengan Rusia. Akan tetapi, Ukraina dan UE tidak mengakui adanya hasil referendum tersebut dan menganggap referendum tersebut ilegal dan tidak sah. Hal ini pada gilirannya berdampak pada pecahnya konflik internal antara tentara Krimea yang disokong oleh Rusia dengan pemerintah Ukraina yang mendapatkan dukungan dari UE. Selain itu, penolakan terhadap naiknya Poroshenko juga terlihat dari pergolakan di Ukraina Timur yang diawali dengan pernyataan kemerdekaan wilayah Donbass oleh kelompok separatis pro-Rusia, yang kemudian diikuti oleh konflik bersenjata dengan tentara pemerintah Ukraina yang berlangsung sampai hari ini.
Jatuhnya Krimea ke tangan Rusia membuat UE memberlakukan sanksi ekonomi kepada Rusia. Tidak hanya itu, NATO yang mayoritasnya beranggotakan negara-negara UE juga mulai intens mengadakan latihan militer dan pembangunan berbagai infrastruktur militer di Eropa Timur. Sementara itu, Ukraina sendiri semakin menunjukkan keinginannya untuk menjadi bagian dari “Barat”, seperti yang terlihat dari kesepakatan dengan UE yang memungkinkan kebebasan pergerakan barang dan jasa, dan fasilitas bebas visa bagi warga Ukraina yang masuk ke negara-negara UE. Selain itu, pada awal 2020, Ukraina secara terang-terangan juga meminta Amerika Serikat (AS) agar segera digabungkan ke dalam NATO. Sebagai respon atas tindakan NATO dan Ukraina, sejak April hingga September 2021 Rusia semakin intens dalam menempatkan pasukan militernya dan mengadakan uji coba persenjataan di perbatasan Ukraina Timur dan wilayah Belarusia. Dalam menyikapi tindakan Rusia, NATO juga melakukan hal yang sama, yaitu dengan menempatkan pasukan militernya di wilayah Polandia, Rumania, dan Hungaria. Tindakan yang dilakukan oleh NATO tersebut pada gilirannya membuat Rusia memperingatkan NATO akan potensi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, yang dapat berdampak pada stabilitas keamanan di Eropa Timur. Secara khusus, Rusia juga meminta NATO agar menghentikan manuver perluasan keanggotannya di Eropa Timur, khususnya terhadap Ukraina.
Alih alih memenuhi tuntutan Rusia, NATO justru semakin memperbanyak jumlah pasukan militer mereka di Eropa Timur. Sementara itu, pada waktu yang hampir bersamaan, konflik yang melibatkan kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina Timur semakin meruncing. Puncaknya ialah adanya deklarasi negara Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk yang segera diakui oleh Presiden Vladimir Putin. Tindakan kelompok separatis pro-Rusia di Ukraina Timur tersebut berdampak pada kembali pecahnya perang terbuka dengan tentara Ukraina. Momentum inilah yang kemudian menjadi pemicu Rusia dalam melakukan serangan ke Ukraina, yang masih terus berlangsung sampai tulisan ini dibuat.
Kian memanasnya konflik Ukraina dan Rusia tidak lepas dari persepsi dari kedua negara yang berbeda dalam memandang atas situasi di Donetsk dan Luhansk. Jika Kiev menganggap dua wilayah tersebut sebagai bagian dari Ukraina, maka Moskow mengakui kedaulatan mereka sebagai sebuah negara dengan klaim kerjasama antara Moskow, Donetsk dan Luhansk – jika ada pihak-pihak yang mencoba menginvasi keduanya.
Alhasil dengan perbedaan persepsi tersebut, Rusia memiliki legitimasi untuk secara langsung mengerahkan kekukatan militernya ke Ukraina. Sedangkan di pihak Kiev, bantuan dari negara-negara Barat tidak secara nyata dirasakan oleh pihak Ukraina. Senada dengan kondisi demikian, Presiden Ukraina Zelensky memberi pernyataan, seperti diwartakan kompas (26/02/22) bahwa Ukraina telah berjuang sendirian tanpa adanya bantuan secara nyata dari negara-negara barat dan merasa kecewa dengan sikap negara-negara anggota NATO yang tak kunjung menerima serta memberikan jaminan kepada Ukraina sebagai anggota NATO. Di lain pihak, Moskow secara tegas menyampaikan bahwa siapapun yang terlibat dalam serangan Rusia ke Ukraina akan dianggap sebagai musuh.
Eskalasi konflik Ukraina dan Rusian ibarat pertarungan David vs Goliath – tak pernah seimbang. Ini jelas terlihat dari disparitas kekuatan alutsista kedua negara. Maka tidak heran jika hari ini, apa yang coba dipertahankan oleh Zelensky tak ubahnya negeri Hastinapura yang mengalami kehancuran pasca perang Bharatayuda. Memang, Zelensky bukan figur seperti Duryudana dalam kisah Mahabarata, tapi apa yang dilakukan olehnya akan berujung pada perjuangan semu. Berbagai retorika yang sering ia kemukakan mengenai kesiapan Ukraina untuk perang terbuka dan upayanya dalam meminta bantuan ke negara-negara Barat sejak akhir Februari lalu hingga hari ini, justru semakin memperlama proses penyelesaian konflik secara damai. Hal ini tampak dari gagalnya kesepakatan gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia dalam perundingan tahap pertama dan tahap kedua yang berlangsung pada awal Maret. Terlebih, hingga tulisan ini dibuat, Rusia diberitakan telah menguasai pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Zaporizhzhia yang merupakan PLTN terbesar di Ukraina.
Sikap alot Zelensky tentunya bukan hanya mengancam ribuan atau bahkan jutaan nyawa di negara yang ia pimpin, tetapi juga berpotensi memunculkan ancaman kemanusiaan di Eropa dan dunia secara luas. Terutama jika sampai terjadi ledakan PLTN Zaporizhzhia yang dapat menghadirkan dampak buruk radiasi nuklir.
Apa yang ia pertahankan pada akhirnnya hanya sebatas egonya atas dua wilayah yang tak lagi ingin bersama lagi. Sedangkan mereka yang masih memiliki keinginan hidup bersama – akan berjuang membangun reruntuhan puing-puing sisa peperangan.
Sebagai Presiden, berbagai upaya untuk mempertahankan dan menggunakan hak kedaulatan negara yang ia pimpin merupakan suatu alasan yang dapat diterima. Hanya saja, jauh sebelum Rusia mengerahkan pasukan militernya ke wilayah Ukraina Timur, semestinya Zelensky menyadari bahwa negaranya secara geografis berada diantara negara-negara NATO dan Rusia. Dengan itu, seharusnya Zelensky bisa memainkan perannya untuk menjalin hubungan dekat dengan negara-negara Barat sekaligus memberikan “jaminan keamanan” bagi Rusia pada waktu bersamaan.
Discussion about this post